Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Parasit Perguruan Tinggi

Sejumlah faktor telah mendorong pembungkaman kebebasan akademik tersebut. Parasit-parasit yang menggerogoti kehidupan perguruan tinggi.

30 Juli 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Imam Yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kehidupan perguruan tinggi kita kini digerogoti parasit.

  • Parasit ini mengisap kebebasan akademik, yang merupakan pusat kehidupan kampus.

  • Faktor apa saja yang yang mendorong pembungkaman terhadap kebebasan akademik tersebut?

Herdiansyah Hamzah
Anggota Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kita memahami istilah “parasit” sebagai organisme yang hidup dengan mengisap makanan dari organisme lain yang ditempelinya. Dalam konteks perguruan tinggi, parasit ini mengisap “kebebasan akademik”, yang merupakan pusat kehidupan kampus. Terence Karran, seorang profesor dari University of Lincoln, Inggris, yang memberi perhatian besar terhadap isu kebijakan pendidikan tinggi, menyebutkan bahwa “hak atas pendidikan, pengajaran, dan penelitian hanya akan dapat dinikmati sepenuhnya dalam suasana kebebasan akademik”. Intinya, kebebasan akademik merupakan jantung perguruan tinggi (the heart of college).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam konferensi umum pada November 1997, UNESCO mendefinisikan kebebasan akademik sebagai “hak atas kebebasan mengajar, kebebasan berdiskusi, kebebasan untuk melakukan penelitian, termasuk menyebarluaskan hasil-hasilnya, kebebasan menyatakan pendapat secara terbuka, kebebasan dari sensor institusional, dan kebebasan untuk berpartisipasi dalam keputusan-keputusan politik, baik di dalam maupun di luar institusi pendidikan.”

Lantas bagaimana dengan praktik kebebasan akademik di Indonesia? Selain dibentengi oleh konstitusi, khususnya Pasal 28E ayat 3 UUD 1945, praktik kebebasan akademik dilindungi oleh Undang-Undang Perguruan Tinggi (UUPT). Pasal 9 ayat 1 undang-undang itu menyebutkan secara eksplisit bahwa “kebebasan akademik merupakan kebebasan sivitas akademika dalam pendidikan tinggi untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan tridarma”.

Salah satu wujud tridarma perguruan tinggi adalah pengabdian kepada masyarakat. Jika dosen atau mahasiswa mengkaji dan mengadvokasi, termasuk melontarkan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang keliru, itu merupakan bagian dari tanggung jawab akademiknya. Jadi, birokrasi kampus semestinya memberikan jaminan perlindungan kebebasan akademik tersebut, bukan malah membungkamnya. Apalagi “kritik” itu adalah habitat mahasiswa, hal berharga yang hidup dan berkembang biak dalam setiap manusia waras.

Banyak faktor yang mendorong pembungkaman terhadap kebebasan akademik tersebut. Pertama, relasi kekuasaan. Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 19 Tahun 2017 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Pemimpin Perguruan Tinggi memberikan ruang politik transaksional dalam pemilihan rektor. Peraturan itu secara eksplisit mengatur bahwa menteri memiliki 35 persen hak suara dari total pemilih yang hadir.

Pemilihan rektor pada akhirnya akan sangat ditentukan oleh selera subyektif kekuasaan. Bahkan tidak jarang pimpinan perguruan tinggi memberikan dukungan terselubung kepada elite politik tertentu dalam setiap pemilihan umum. Motifnya apalagi kalau bukan mengejar jabatan-jabatan strategis, baik dalam pemerintahan maupun badan usaha. Rangkap jabatan pun menjadi fenomena yang tidak terhindarkan. Padahal, secara prinsip, rangkap jabatan bertentangan dengan banyak regulasi, khususnya yang berkaitan dengan etika pejabat publik.

Kedua, budaya feodal. Relasi antara dosen dan mahasiswa berjalan tidak seimbang. Kebenaran pengetahuan cenderung menjadi monopoli dosen. Bahkan hampir semua kebijakan kampus tidak pernah melibatkan mahasiswa. Mereka lupa bahwa tugas pokok seorang dosen adalah memfasilitasi perkembangan kemampuan mahasiswa sekaligus menciptakan suasana akademik senyaman mungkin. Sebab, ilmu pengetahuan tidak mengenal tua-muda, senior-junior, atau guru-murid. Semua adalah guru dan murid sekaligus pada saat yang sama.

Dalam alam feodalisme, alasan “sopan santun” kerap kali dijadikan sebagai senjata oleh birokrasi dan kekuasaan untuk mengontrol kritik mahasiswa. Sopan santun adalah urat nadi feodalisme. Dalam politik, sopan santun adalah basa-basi, serupa dengan kepura-puraan. Di bawah iklim akademik yang cenderung feodal juga akan memunculkan dominasi yang melahirkan subordinasi sehingga membuka ruang kejahatan lain, seperti kekerasan seksual, korupsi, dan pemerasan.

Ketiga, pasar. Komersialisasi pendidikan jelas membawa dampak buruk terhadap perguruan tinggi, terutama sangat mempengaruhi iklim akademik di kampus. Hal ini dimulai dari merosotnya nilai integritas, hilangnya keberpihakan kampus terhadap masyarakat, hingga tindakan represif yang kerap dialami oleh mereka yang kritis. Sebab, komersialisasi pendidikan selalu membutuhkan stabilitas. Protes diupayakan seminim mungkin agar penetrasi modal semakin masif ke dunia pendidikan.

Komersialisasi pendidikan juga menyebabkan masyarakat miskin kehilangan akses atas pendidikan. Hal ini jelas bertentangan dengan salah satu prinsip pokok pelaksanaan perguruan tinggi, yakni keberpihakan kepada kelompok masyarakat kurang mampu secara ekonomi (Pasal 6 UUPT). Kampus kini dipaksa masuk ke dalam kompetisi pasar bebas, yang menyebabkan tujuan pokok pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi kehilangan arah. Orientasi kampus cenderung pada laba dan lupa atas tanggung jawabnya untuk memikirkan nasib bangsa dan negara ini.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Herdiansyah Hamzah

Herdiansyah Hamzah

Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman dan Anggota Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA)

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus