Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penghancuran norma-norma akademik sedang dipertontonkan di sebuah perguruan tinggi.
Putusan Dewan Kehormatan Universitas tidak dihormati.
Para perusak norma dan marwah akademik adalah mereka yang sedang memiliki kedudukan.
Supriadi Rustad
Guru besar Universitas Dian Nuswantoro Semarang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada era pembangunan sumber daya manusia unggul, penghancuran norma-norma akademik sedang dipertontonkan di sebuah universitas pemegang peringkat dunia terbaik di Indonesia. Putusan Dewan Kehormatan Universitas (DKU) tidak dihormati bahkan dikalahkan oleh "bukti baru" berupa dokumen yang dikirim setelah putusan diambil.
Pengalaman saya bertugas dalam Tim Evaluasi Kinerja Akademik 2015-2020 mengajarkan bahwa kasus semacam ini acap kali melibatkan pejabat, sebagaimana dulu pernah terjadi di Universitas Negeri Jakarta. Perusak norma dan marwah akademik adalah mereka yang sedang memiliki kedudukan dan bisa menggoyang integritas birokrasi kampus. Media dan masyarakat ilmiah menjadi dambaan penyelamat kehormatan perguruan tinggi.
Sifat abal-abal dari bukti baru ini sudah diwaspadai oleh DKU, sehingga putusan kedua tidak mengubah putusan sebelumnya. Namun, entah mengapa, dokumen tersebut malah menjadi begitu menentukan.
Dokumen draf disertasi tahun 2000 itu seperti mendapat dukungan dari nasihat hukum melalui instrumen matriks "ada versus tidak ada", khusus untuk mencari kesalahan bahkan mengevaluasi putusan DKU. Anehnya, matriks setengah halaman itu bisa membuktikan bahwa disertasi ini tidak terbukti plagiat tanpa harus membaca lengkap karya ilmiah yang dipersandingkan.
Sebuah pendapat hukum mengkritik putusan DKU yang tidak mempertimbangkan proses penulisan disertasi yang tertuang dalam draf ini. Penghancuran norma akademik pertama dimulai ketika ada upaya "pemaksaan struktural" agar "para empu" yang terhormat mempercayai dokumen mencurigakan ini. Untungnya, DKU bergeming. Berikut ini cuplikan penutup sebuah nasihat hukum yang meneguhkan adanya praktik penghancuran norma akademik: "Nasihat hukum ini saya buat... dengan asumsi dokumen... tersebut asli".
Penghancuran norma akademik kedua terjadi ketika dokumen yang digunakan untuk menolak putusan DKU masih berupa asumsi, belum diperiksa, apalagi dipastikan keasliannya. Norma akademik ketiga yang dilanggar adalah proses penelitian yang mendahului penulisan hasil. Berdasarkan portofolio yang bersangkutan, sebagian data pada draf disertasi justru berasal dari laporan penelitian pada 2002 (dokumen diperoleh dari Biro Hukum Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi 2018). Artinya, draf disertasi tersebut pastilah dibuat setelah dan tidak mungkin sebelum November 2002. Norma yang demikian universal ini disingkirkan atau memang belum sempat disadari oleh tim hukum.
Norma akademik keempat yang dilanggar adalah suatu karya ilmiah yang dibuat pada suatu tahun tidak bakal mampu mengutip karya yang belum terbit pada tahun tersebut. Namun, di halaman 152 pada draf disertasi, yang diklaim dibuat pada 2000, mengutip karya Sudaryanto dan Pranowo pada 2001, sebuah pustaka berupa Kamus Pepak Basa Jawa yang pertama kali terbit pada Juli 2001. Semoga pihak universitas segera memeriksanya.
Konsekuensi dari draf ganjil tersebut, dua guru perempuan sekolah menengah, sebut saja RS dan NY, menjadi korban. Mengingat skripsi mereka diuji pada 2001, hadirnya draf tahun "2000" ini telah menahbiskan kedua guru tak berdosa tersebut sebagai orang yang memplagiat karya dosennya. Ini sungguh mengenaskan.
Norma kelima yang diabaikan adalah proses validasi lapangan untuk menelusuri lokasi penelitian skripsi dan disertasi. Seandainya tim hukum membaca dokumen tersebut secara benar dan lengkap, semestinya mereka segera mengetahui bahwa kasus ini bukan hanya tentang plagiat murni, tapi juga pemalsuan lokasi penelitian. Faktanya, ada sebuah disertasi yang merupakan rangkaian dari beberapa penelitian skripsi S-1 universitas IKIP di lokasi yang berbeda-beda.
Meski sama-sama tentang tuturan di Kabupaten Banyumas, penelitian RS berlangsung di Kecamatan Jatilawang, sementara penelitian disertasi—sebagaimana disebutkan dalam artikel dan laporan penelitian yang bersangkutan—terjadi di Kecamatan Sokaraja. Pondok pesantren di dua kecamatan ini berbeda dalam kultur dan kepemilikan.
Data tuturan berikut mengkonfirmasi bahwa RS merupakan peneliti asli dan Pak Amir merupakan pengasuh Pondok Pesantren Al-Falah Mangunsari, tempat RS melakukan penelitian. Tuturan itu berbunyi: "Kyai: [Dek], tulung didamelaken unjukan kagem mba RS, sekalian [pak] Amir ditimbali ken mriki...". Draf tahun 2000 tersebut telah mendustakan kebenaran bahwa RS merupakan peneliti yang sesungguhnya.
Nasib serupa dialami skripsi NY, yang juga dijahit menjadi bagian dari disertasi, padahal penelitiannya dilakukan di lokasi lain, yaitu Kabupaten Purbalingga. Contoh terjadinya plagiat adalah data tuturan pranatacara dalam resepsi pernikahan sebuah keluarga di Desa Purbalingga Wetan, Kecamatan Purbalingga. Tuturan ini dijumpai dalam penelitian disertasi pada 2003 (versi Perpustakaan Pusat) halaman 276-281, yang diklaim terjadi di Kabupaten Banyumas.
Wawancara peneliti dengan pranatacara Bapak WY membenarkan bahwa tuturan di skripsi NY halaman 83-88 tersebut diucapkan olehnya dan direkam untuk skripsi NY. Bahkan, ketika ditunjukkan transkrip rekaman, WY bisa mengoreksi beberapa kesalahan penulisan atas apa yang ia ucapkan, misalnya tentang salah penulisan nama perias. Draf tahun 2000 telah menimbulkan korban berikutnya: Bu Guru NY, peneliti asli skripsi tahun 2001 itu, dicap sebagai penjiplak.
Plagiat merupakan masalah moral dan etika akademik yang menjadi kewenangan Senat Akademik. Biro Hukum tidak memiliki kapasitas untuk memutuskan, apalagi modalnya hanya dokumen yang belum dipastikan keasliannya. Boleh jadi ruwetnya penyelesaian kasus plagiat ini merupakan puncak gunung es dari buruknya tata kelola perguruan tinggi di Indonesia yang terlalu menghamba kepada politik dan uang, sebagaimana ditengarai oleh fenomena obral gelar doktor kehormatan yang bahkan diberikan kepada koruptor, yang marak terjadi belakangan ini.
Beberapa diskusi Konsorsium Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menyembulkan sebuah keprihatinan bahwa semestinya di universitas yang notabene berkelas dunia itu ada mekanisme koreksi internal sebagai wujud dari organisasi yang sehat. Rektor, Dewan Kehormatan, dan Senat Akademik bergerak sendiri-sendiri dan berpegang pada norma masing-masing, sehingga tidak ada pengingat kepada yang kebetulan sedang khilaf.
Dua puluh tahun lalu, sebanyak 102 anggota Senat menghadiri rapat pleno yang membatalkan gelar doktor ilmu politik seorang kolumnis ternama. Semoga tradisi luhur sidang pleno ini masih lestari agar tidak ada yang terkecoh oleh dokumen yang datang belakangan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo