Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Minat investasi di sektor perikanan dan kelautan rendah.
Penyebab lambatnya pembangunan perikanan adalah disrupsi kebijakan, pandemi Covid-19, dan akselerasi yang lambat.
Pemecahannya dengan platform ekonomi dengan pendekatan berbasis spasial.
Yonvitner
Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kabar tentang rendahnya minat investasi di sektor perikanan dan kelautan bukan hanya soal tata kelola, tapi juga resultan dari berbagai persoalan. Saya melihat ada tiga penyebab lambatnya pembangunan perikanan, yakni disrupsi kebijakan, pandemi Covid-19, dan akselerasi pembangunan perikanan yang berjalan lambat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah dua dekade lahirnya Kementerian Kelautan dan Perikanan, target kontribusi ekonomi dari sektor perikanan, yang diperkirakan mencapai US$ 10 miliar atau setara dengan 10 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), masih berat untuk diwujudkan. Kesulitan ini terjadi karena tata kelola, manajemen aset, dan data sumber daya ikan yang tidak tepat, yang kemudian melahirkan kebijakan yang tidak tepat juga.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat porsi pendapatan domestik bruto (PDB) perikanan pada 2019 naik 0,05 persen dari 2018, yang hanya mencapai 2,6 persen, tapi laju pertumbuhan PDB malah turun dari 5,17 menjadi 5,02. Dengan kata lain, sektor perikanan periode 2018-2019 berjalan di tempat. Manfaat yang diterima nelayan dengan nilai tukar nelayan (NTN) yang naik belum mampu menjelaskan jumlah nelayan yang berubah status kesejahteraannya. Bahkan penelitian saya pada 2019 di Lampung dan Banten menemukan persentase nelayan miskin masih di atas 70 persen.
Beberapa kebijakan telah menyebabkan lemahnya sistem usaha perikanan periode tersebut, seperti mandeknya pemanfaatan kuota tuna di Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional (RFMO). Berdasarkan data Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin), kuota tuna yang tidak termanfaatkan di RFMO mencapai 5.889 ton. Penyebabnya adalah pembatasan kapal tuna yang biasa menangkap di RFMO karena alasan buatan asing, anak buah kapal asing, dan alih muat (transhipment). Yang menjadi soal sebenarnya adalah persepsi mengenai operator usaha perikanan yang nakal. Namun "untuk membunuh seekor tikus tidaklah perlu membakar lumbung padi".
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan mengenai larangan penangkapan dan ekspor lobster juga mengganggu usaha penangkapan lobster. Kebijakan bantuan dan demonstration plot usaha perikanan, seperti keramba jaring apung lepas pantai, yang tidak tepat juga memperlambat laju usaha perikanan. Ada pula data perikanan dalam sistem one data yang terdistorsi karena perubahan kewenangan kabupaten/kota kepada provinsi. Hal-hal ini merupakan bentuk gangguan kebijakan yang melemahkan ekonomi perikanan dalam skala besar.
Pandemi Covid-19 tidak menggerus stok dan sumber daya perikanan, tapi mendistorsi rantai distribusi, pemasaran, dan logistiknya. Mekanisme pembatasan sosial berskala besar (PSBB) telah menyebabkan putusnya transportasi dari lokasi sumber ikan ke pasar lokal. Banyak kapal frontier terhambat karena tidak punya izin berlabuh saat PSBB. Walaupun saat pandemi tersedia aplikasi dalam transaksi, terbatasnya sarana penghubung dan transporter untuk sampai ke konsumen belum mampu mengangkat ekonomi perikanan ke level atas.
Kontraksi ekonomi perikanan di pasar ekspor menyebabkan proses ekspor tidak berjalan mulus dan belum diiringi dengan peningkatan serapan pasar lokal. Pemerintah seharusnya adil dalam menyesuaikan kembali target pertumbuhan 2020 yang lebih dari 7 persen tahun ini pada nilai riil. Namun cascading semester pertama 2020 ini belum bisa dilakukan dengan baik karena ketersediaan data yang belum dapat diandalkan.
Proses akselerasi kebijakan perikanan dalam mengambil momentum perbaikan juga berjalan lambat. Dalam 10 bulan sejak dilantik, Menteri Kelautan baru menata kebijakan lobster. Penataan ini, selain menghidupkan kembali usaha penangkapan, perbesaran, dan riset, juga menciptakan lubang baru berupa izin ekspor benih. Sebagai solusi jangka pendek untuk memitigasi dampak Covid-19, hal ini dapat diterima tapi dalam jangka panjang tidaklah menguntungkan. Akselerasi lain yang perlu ditunggu adalah revisi peraturan menteri untuk mengoptimalkan kembali penangkapan tuna di RFMO. Walaupun dilaporkan kuotanya terserap pada 2019, tapi tidak terlihat perubahan signifikan dalam industri perikanan tuna.
Hal-hal di atas harus segera diselesaikan agar sektor perikanan dapat pulih. Untuk itu, sektor perikanan harus membangun sebuah platform ekonomi yang menjadi kebijakan pembangunan perikanan. Platform itu dapat dimulai dengan pendekatan berbasis spasial karena perikanan terbagi dalam wilayah pengelolaan perikanan (WPP) di laut dan darat. Kemudahan pemulihan ekonomi pada basis WPP ini di antara lain akan menghasilkan data perikanan yang lebih presisi serta tata kelola pelabuhan perikanan, proses pengawasan, izin usaha perikanan, dan sumber daya nelayan yang lebih baik.
Jika dilakukan dengan pendekatan data presisi, platform berbasis WPP akan mampu menampilkan profil pembangunan perikanan secara presisi pula. Ketika terjadi kemacetan produksi, misalnya, maka dengan mudah akan dapat dilakukan cascading pada setiap sistem yang ada di WPP tersebut.
Saya berkeyakinan, dengan meninjau kembali kebijakan yang menghambat dan penerapan platform WPP, maka kontribusi sektor perikanan dan kelautan dapat dipacu dengan presisi. Mari kita pastikan raksasa perikanan bangkit menjadi sektor yang tangguh dan berpihak pada nelayan miskin.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo