Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Untuk Siapa Normalisasi Arab-Israel?

Normalisasi egois negara-negara Arab dengan Israel belakangan ini tidak akan menyelesaikan masalah Timur Tengah.

18 Desember 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Untuk Siapa Normalisasi Arab-Israel?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Normalisasi hubungan negara-negara Arab dengan Israel itu bagus untuk masa depan Timur Tengah.

  • Tren normalisasi belakangan ini justru memperkuat konflik.

  • Normalisasi egois negara-negara Arab ini tidak akan menyelesaikan masalah Timur Tengah.

Ibnu Burdah
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Normalisasi hubungan negara-negara Arab dengan Israel itu bagus untuk masa depan Timur Tengah yang lebih baik. Negara-negara di kawasan tersebut harus berdamai dan bersama-sama membangun kawasannya. Bagaimana mungkin kawasan itu akan mencapai kemakmuran dan kemajuan bersama jika mereka tidak berhenti berkonflik?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Konflik akan mengakibatkan kerugian bersama. Sudah terlalu banyak kehancuran, korban kemanusiaan, dan penderitaan yang diakibatkan berbagai konflik di kawasan itu. Tak ada yang diuntungkan dari konflik ini, kecuali pihak-pihak yang memiliki bisnis dengan kekacauan dan perang. Maka, sudah saatnya aktor-aktor di Timur Tengah mengambil langkah berani untuk melakukan negosiasi damai. Perdamaian kawasan adalah syarat mutlak bagi upaya membangun masa depan Timur Tengah.

Salah satu konflik paling panjang di kawasan itu adalah konflik Arab-Israel. Jika dihitung dari proklamasi Negara Israel, konflik ini sudah berlangsung lebih dari tujuh dekade. Apalagi jika dihitung dari konflik komunitas-komunitas Yahudi dengan Arab di wilayah Palestina, konflik itu telah berusia sekitar satu abad. Sebuah konflik panjang yang tidak hanya "membakar" kawasan tersebut, tapi juga memompa sentimen negatif dan kebencian antarkelompok di dunia. Karena itu, perbaikan hubungan Arab-Israel adalah langkah sangat penting untuk masa depan kawasan dan perdamaian dunia.

Kawasan ini memiliki modal keuangan yang melimpah, terutama di negara-negara Teluk yang sudah mengumpulkan kapital dalam jumlah besar sebagai produsen minyak. Kawasan itu pun memiliki peradaban tua manusia dan magnet bagi kaum beriman, khususnya penganut agama Abrahamik.

Kemampuan teknologi kawasan ini, terutama Israel dan Iran, juga merupakan modal yang sangat besar. Timur Tengah sangat membutuhkan kedua negara yang selama ini saling bersitegang di banyak front tersebut untuk menciptakan kemajuan bersama. Sumber daya manusia dengan kualitas tinggi dalam jumlah besar mudah diperoleh dari Mesir, Maroko, Palestina, Suriah, dan negara-negara lain.

Modal lain tentu masih banyak. Intinya, kawasan ini punya potensi besar untuk melesat maju dan bersaing dengan kawasan-kawasan lain yang sudah maju. Syaratnya, mereka mampu menyelesaikan konflik dan menggantinya dengan perdamaian, hidup dalam koeksistensi, dan bekerja sama di segala bidang. Saya sangat berharap bisa menjumpai masa-masa indah itu dalam kenyataan, bukan dalam puisi atau karya fiksi lain.

Uni Emirat Arab dan Bahrain sudah mengumumkan normalisasi hubungan secara resmi dengan Israel pada pertengahan bulan lalu. Lalu Sudan menyusul dan dilanjutkan pengumumam Maroko. Sejumlah negara Arab lain diyakini akan menyusul langkah negara-negara tersebut. Ada beberapa catatan terhadap tren ini.

Pertama, langkah normalisasi yang dilakukan negara-negara Arab itu tampak tidak berorientasi kepada cita-cita indah tadi. Semangat yang mendasarinya lebih mengarah kepada penguatan konflik di kawasan, bukan pada upaya membangun kebersamaan. Normalisasi yang didesakkan pemerintahan Donald Trump ini diarahkan untuk penguatan aliansi kekuatan pro-Barat di kawasan untuk mengalahkan musuh-musuhnya. Sumber konflik malah diabaikan begitu saja. Normalisasi ini akan lebih berdampak dalam memperuncing potensi konflik besar yang sudah ada di depan mata.

Dalam konteks Sudan dan Maroko, kepentingan nasional mereka sangat menonjol dalam pengambilan keputusan normalisasi. Sudan ingin menjadikan normalisasi sebagai jalan keluar dari isolasi internasional dan krisis ekonomi yang menderanya. Maroko ingin meneguhkan kedaulatannya atas Sahara Barat yang selama ini diganggu oleh gerakan separatis Frente Popular para la Liberación de Saguia el-Hamra y Rio de Oro yang didukung Aljazair.

Kedua, masalah Palestina seharusnya disertakan dalam proses ini. Tanpa menyelesaikan masalah Palestina—juga Suriah dan Libanon—dengan Israel, maka langkah normalisasi itu menjadi kurang produktif. Ibarat membangun sebuah rumah megah, tapi membiarkan bara tetap menyala di dalamnya. Setiap saat bara itu berpotensi membakar rumah dan seisinya. Normalisasi egois negara-negara Arab ini jelas langkah yang tidak akan menyelesaikan masalah, tapi malah makin membebani Palestina dalam memperjuangkan kepentingannya. Akibat sangat buruk dalam jangka panjang adalah Palestina bisa menjadi sumber radikalisasi baru. Palestina harus bersiap menghadapi kemungkinan dan situasi baru ini akibat langkah "unilateral" negara-negara Arab tersebut.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus