Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pekerja Migran di Masa Pandemi

Rencana pemerintah untuk memberangkatkan pekerja pada masa pandemi harus dibatalkan. Jangan jadikan pekerja migran sebagai tumbal pertumbuhan ekonomi.

16 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Opini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Setengah tahun yang lalu, WHO secara resmi menetapkan Covid-19 sebagai pandemi.

  • Rencana pemerintah untuk memberangkatkan pekerja pada masa pandemi harus dibatalkan.

  • Jangan jadikan pekerja migran sebagai tumbal pertumbuhan ekonomi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wahyu Susilo
Direktur Eksekutif Migrant CARE

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada 11 Maret 2020, tepat setengah tahun yang lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara resmi menetapkan Covid-19 sebagai pandemi. Ketika virus itu mewabah, pekerja migran merupakan warga negara Indonesia pertama yang mengalami kepanikan, terutama yang berada di Hong Kong, Taiwan, Singapura, Malaysia, dan kapal-kapal pesiar. Setelah menyatakan bahwa Covid-19 sudah masuk ke Indonesia, pemerintah membuat kebijakan pembatasan mobilitas dan menerapkan protokol kesehatan untuk mencegah penularan virus.

Pemerintah juga menerapkan penapisan berlapis dalam proses pemulangan/kepulangan pekerja migran. Sepanjang Maret hingga akhir Mei 2020, terjadi peningkatan arus kepulangan pekerja migran menjelang bulan Ramadan dan Lebaran. Selain itu, penerapan Perintah Kendali Pergerakan di Malaysia sejak pertengahan Maret lalu mendorong aliran pemulangan pekerja migran Indonesia dari negeri jiran itu melalui Selat Malaka. Situasi ini diantisipasi pemerintah dengan pendirian dan pengaktifan pusat karantina di Pulau Galang, Kepulauan Riau.

Penapisan berlapis dalam proses pemulangan/kepulangan pekerja migran Indonesia ini dilakukan dengan pemeriksaan kesehatan dan penerapan protokol kesehatan di setiap terminal kedatangan pekerja migran, baik di bandar udara, pelabuhan laut, maupun terminal angkutan darat. Berdasarkan pemantauan Migrant CARE, penerapan kebijakan ini relatif berhasil dan mencegah pembentukan kluster penularan Covid-19 dalam proses pemulangan/kepulangan pekerja migran ke kampung halaman mereka. Menurut keterangan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 saat itu, dari sekitar 133 ribu pekerja migran yang pulang, tercatat tidak lebih dari seribu pekerja yang dideteksi positif terjangkit Covid-19 dan hampir semuanya ditangani di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta. Dalam hal ini, Indonesia bisa melewati tahap krisis peningkatan kepulangan/pemulangan pekerja migran yang memuncak menjelang Ramadan dan Lebaran.

Meski demikian, keberhasilan tersebut belum tampak dalam penanganan pandemi Covid-19 secara keseluruhan. Pengendalian wabah yang sempat terkontrol pada saat penerapan awal pembatasan mobilitas sosial melalui skema pembatasan sosial berskala besar (PSSB), penerapan protokol kesehatan, ataupun pembatasan yang ketat pada penggunaan moda transportasi publik seakan-akan tidak ada artinya ketika pemerintah mendeklarasikan kenormalan baru, yang kemudian direvisi menjadi adaptasi baru. Hingga bulan keenam pandemi ini berkecamuk, kurva kasus baru terus menjulang dan belum terlihat tanda-tanda menurun.

Pandemi Covid-19 telah menggoyahkan sendi-sendi perekonomian global, dan negara yang masuk resesi seperti kartu domino berjatuhan. Krisis ini punya dampak yang lebih dahsyat dibanding krisis finansial pada 2008-2009 dan krisis moneter 1997-1998. Namun, karena krisis ini merupakan krisis kesehatan yang disusul krisis ekonomi, cara pemulihan yang hanya bertumpu pada pertimbangan ekonomi semata bukanlah solusi yang tepat.

Pernyataan Presiden Jokowi dalam Sidang Kabinet Paripurna pada 7 September lalu, yang meminta pemulihan kesehatan sebagai upaya yang utama dalam penanganan Covid-19, seharusnya menjadi langkah korektif dari kebijakan penanganan Covid-19, yang selama ini lebih mengutamakan upaya menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi. Namun, setelah mencabut Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 151 Tahun 2020 tentang Pelarangan Penempatan Pekerja Migran Indonesia di Masa Pandemi, Menteri Ketenagakerjaan melalui Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 294 Tahun 2020 membuka kembali penempatan pekerja migran Indonesia ke 14 negara.

Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) bahkan terus berupaya memberangkatkan 88 ribu calon pekerja migran yang sebelumnya gagal berangkat akibat pandemi. Badan itu juga menjamin para calon pekerja itu bebas dari Covid-19.

Argumentasi yang dipakai dalam perubahan kebijakan ini adalah agar stabilitas pertumbuhan ekonomi terjaga melalui aliran remitansi. Dasar pemikiran ini jelas bertentangan dengan pernyataan Jokowi bahwa pemulihan kesehatan merupakan hal yang utama. Oleh karena itu, Kementerian Ketenagakerjaan dan BP2MI harus membatalkan rencana kebijakan penempatan pekerja migran Indonesia ke luar negeri pada masa pandemi. Jangan jadikan pekerja migran sebagai tumbal pertumbuhan ekonomi dengan taruhan kesehatan dan keselamatan jiwanya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Wahyu Susilo

Wahyu Susilo

Direktur Eksekutif Migrant CARE

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus