Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUNGGUH biadab jika orang utan yang seharusnya dilestarikan ternyata enteng saja dibantai demi kelapa sawit dan uang. Bukan hanya orang kecil dan penduduk lokal yang terlibat perbuatan keji ini. Penangkapan dan pembantaian yang kian gawat dalam dua tahun terakhir ini diduga dilakukan para centeng perkebunan kepala sawit besar, atas perintah bos-bos mereka, para pemilik kebun sawit kakap, di antaranya pengusaha dari Malaysia.
Bukti kejahatan sudah di depan mata. Seekor induk orang utan ditemukan dikubur dengan bekas pukulan di sana-sini. Kedua pergelangan tangannya terluka, jari-jarinya putus. Aparat juga sibuk mengidentifikasi beberapa tengkorak Pongo pymaeus morio, jenis primata dilindungi, yang menjadi bulan-bulanan warga Desa Puan Cepak, Kecamatan Muara Ancalong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Polisi baru menangkap tiga tersangka pelaku pembantaian di area perkebunan kelapa sawit PT Prima Citra Selaras, medio Desember lalu.
Para pelaku sudah sepatutnya dihukum setimpal. Polisi mesti bekerja keras mengejar mereka yang kini jadi buron. Primata langka yang cuma bisa melahirkan empat kali sepanjang hayat itu ditombak lebih dulu dengan kayu runcing, baru diparang beramai-ramai setelah lemas. Perbuatan sadis ini bisa dijerat dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Mereka diancam hukuman penjara maksimal lima tahun plus denda Rp 100 juta. Menurut Center for Orangutan Protection, dalam satu dasawarsa terakhir, sudah 12 ribu orang utan dibantai. Mereka dianggap merusak kebun kelapa sawit.
Penangkapan dan penetapan tersangka terhadap pegawai bawahan itu tidaklah cukup. Mereka hanyalah pelaku lapangan. Para atasan eksekutor orang utan ini harus juga diperiksa. Namun, jangankan menangkap bos-bos besar, polisi bahkan belum menetapkan Sri Winarto—Manajer PT Prima Citra Selaras—sebagai tersangka. Padahal, menurut pengakuan para tersangka, Sri mengetahui tindakan keji itu. Toh, dia hanya manajer biasa. Polisi juga harus berani menyentuh para cukong dan pemilik perkebunan sawit besar yang menjadi biang kerok pembantaian primata itu.
Tak ada yang salah dengan bisnis kelapa sawit. Apalagi sawit masuk tiga besar investasi di Kalimantan, bersama batu bara dan kayu. Masalahnya, makin maraknya kebun kelapa sawit—diawali pembabatan hutan alam—telah merusak ekosistem dan mempersempit habitat orang utan. Kawasan hutan hujan, yang biasanya dijadikan tempat tinggal mereka, kini ramai-ramai disulap menjadi lahan sawit dan pertambangan. Walhasil, selama dua dasawarsa belakangan ini, orang utan telah kehilangan 80 persen wilayah habitatnya.
Pemerintah seharusnya menganggap kejadian buruk ini sebagai ancaman serius. Tidak hanya bagi upaya pelestarian orang utan semata, tapi juga dalam hal menjaga keseimbangan ekosistem. Bayangkan jika suatu saat nanti orang utan hanya tinggal nama. Sayang sekali jika karena dianggap sebagai pengganggu tanaman, satwa langka yang sesungguhnya tinggal dan berhak hidup di rumahnya sendiri ini harus dimusnahkan.
Solusi lain kudu dikedepankan. Bukan lantas menempuh jalan pintas dan gampang: membantai orang utan yang dianggap biang pengganggu panen. Kementerian Kehutanan kembali harus menegaskan sikapnya untuk sama sekali tak memberi ruang dan membuka izin baru bagi eksploitasi lahan-lahan konservasi. Kalau perlu, cabut saja izin usaha perkebunan sawit yang terbukti membantai orang utan. Sedangkan orang utan yang tersisa dan masih selamat perlu segera dievakuasi ke tempat yang aman dari tangan keji para pembantai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo