Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANCAMAN serius itu datang dari Jalan Pejaten Raya, tempat Badan Intelijen Negara berkantor. Melalui Undang-Undang Intelijen Negara, yang baru saja disahkan Dewan Perwakilan Rakyat, dikhawatirkan lembaga negara itu punya senjata pamungkas yang merugikan kehidupan berdemokrasi. Hak asasi manusia pun bisa terganggu.
Badan Intelijen Negara memang perlu diperkokoh eksistensinya melalui peraturan ini. Namun upaya itu tak boleh ditunggangi kepentingan tertentu seraya mengorbankan hak-hak dasar masyarakat. Memberikan payung hukum dengan mengabaikan kepentingan umum sama saja dengan memberikan "cek kosong" kepada Badan Intelijen yang setiap saat bisa diselewengkan.
Rasa tak percaya terhadap perilaku lembaga intelijen adalah hal wajar di negara yang baru berdemokrasi seperti Indonesia. Hampir semua pemerintah otoriter amat mengandalkan dinas rahasia masing-masing dalam meneguhkan kekuasaannya atas rakyat. SAVAK, Mukhabarat, KGB, dan Stasi adalah contoh nama dinas rahasia yang terkenal kebengisannya dalam mendukung rezim penguasa di berbagai penjuru dunia.
Wajar kalau undang-undang intelijen produk politikus Senayan ini diyakini bisa menjadi ancaman gawat di kemudian hari. Sebab, beberapa pasal di dalamnya sangat elastis sehingga rawan disalahgunakan. Misalnya definisi rahasia informasi intelijen pada pasal 25 yang mencakup pengertian tentang pertahanan dan keamanan negara, kekayaan alam Indonesia, ketahanan ekonomi nasional, serta kepentingan politik luar negeri. Ketidakjelasan batasan definisi akan membuka ruang penafsiran luas yang berpotensi melanggar hak asasi manusia, khususnya dalam kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi.
Pasal 26 yang berbunyi setiap orang atau badan hukum dilarang membuka atau membocorkan rahasia intelijen bisa merepotkan. Aturan ini menggariskan bahwa siapa saja yang membuka rahasia intelijen dapat dikenai sanksi pidana. Ancamannya, sesuai dengan pasal 44 dan 45, dipenjara sepuluh dan tujuh tahun atau didenda ratusan juta rupiah. Bayangkan, berapa banyak jurnalis yang akan masuk penjara karena melakukan tugas investigasi dan memberitakannya ke publik.
Kewenangan besar Badan Intelijen Negara dalam melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi jelas mengkhawatirkan. Penggalian informasi ini merupakan pergeseran dari kewenangan sebelumnya yang diminta Badan Intelijen, yaitu pemeriksaan intensif. Dalam pemeriksaan intensif, Badan Intelijen bisa langsung melakukan penangkapan dan penahanan, sedangkan kini lembaga itu harus berkoordinasi dengan aparat penegak hukum lain.
Selain disesaki pasal "abu-abu", undang-undang ini layak dicurigai sarat kepentingan politikus Senayan. Indikasinya, dalam pasal pengangkatan Kepala BIN, Dewan menjadi penentu akhir atas calon yang diusulkan Presiden. Dewan juga mendapat "jatah" sebagai pengawas eksternal penyelenggaraan kegiatan intelijen. Dengan posisi ini, akan jauh panggang dari api harapan kegiatan intelijen berlangsung secara rahasia demi kepentingan rakyat.
Dengan berbagai kelemahan dalam undang-undang itu, sudah sangat pantas segera diajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Dewan Pers sebagai lembaga negara yang ditugasi mengawal kebebasan pers mesti berdiri paling depan dalam mengusulkan uji materi ini. Pasal yang menabrak hak-hak masyarakat sipil dan sarat kepentingan politik harus dihilangkan. Tanpa itu, Badan Intelijen Negara hanya akan kembali menjadi alat politik penguasa untuk melanggengkan kekuasaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo