Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPEKAN menjelang peralihan kekuasaan di republik ini, kita diriuhkan oleh berbagai rumor tentang siapa yang duduk sebagai menteri di pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Bahwa Prabowo akan menambah jumlah kementerian, itu sesuatu hal yang sudah pasti. Undang-undang yang mengatur kementerian negara sudah mengizinkan hal itu. Prabowo pun makin bertekad membangun negeri ini dengan kerja sama. Bersama dengan kekuatan yang besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itu yang membuat belakangan ini berseliweran nama kandidat menteri yang dipilih Prabowo. Bisa dimaklumi. Maklum, meski ada janji akan membentuk kabinet yang profesional, Prabowo tentu tak bisa menghindar dari pemberian jatah kursi kepada para partai yang mendukungnya. Para elite partai pun sudah memberi sinyal akan menempatkan kadernya meski ada yang mengaku pasrah, bergantung pada apa kata Prabowo. Biasa, berlindung di balik hak prerogatif presiden, walaupun gestur tubuhnya ingin mendapatkan posisi menteri sebanyak-banyaknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yang menarik, setiap hari nama-nama kandidat menteri berubah menjelang hari penentuan. Bahkan, kalau kita mengikuti keriuhan di media sosial, bisa jadi gonta-ganti nama itu tiga kali sehari, seperti minum obat batuk. Kok heboh amat? Ini disebabkan ada yang ditunggu, yakni pertemuan antara Prabowo sebagai presiden terpilih dan Megawati sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Ini pertemuan sangat penting yang bisa mengubah nama-nama kandidat menteri. Akan menentukan apakah PDI Perjuangan bergabung dengan Prabowo atau tidak. Kalau bergabung, berapa jatah menterinya? Masak, cuma tiga menteri? Sebagai partai pemenang pemilu, tentu kurang layak jatahnya di bawah jatah partai lain. Bahwa ada anggapan partai yang berjasa mendukung Prabowo memenangi pemilihan presiden harus lebih banyak jatahnya dibanding partai yang nebeng belakangan, itu bisa dilupakan. Pemilu di negeri ini unik. Partai yang kalah pun minta ikut memerintah. Tak ada oposisi di budaya Nusantara, kata para elite politik.
Jika pertemuan Prabowo dan Megawati jadi berlangsung, yang konon segera terjadi di sebuah tempat bersejarah, sebenarnya tidak mengubah prinsip apa pun dari Prabowo. Sejak awal, mantan komandan pasukan elite Kopassus ini ingin mengajak orang bergabung membangun bangsa. Pertemuan ini hanya mengubah sikap Megawati, apakah menjadikan pasukan bantengnya sebagai partai yang tetap ikut berkuasa. Dalam bahasa rakyat, apakah banteng kedaton akan kehilangan garangnya dan berubah menjadi penarik bajingan, gerobak khas perdesaan di Jawa. Sekaligus menjelaskan lebih gamblang bahwa sesungguhnya kiblat semua ini adalah mengejar jabatan. Jabatan yang bergelimang kenikmatan berbagai fasilitas.
Ada ucapan nyinyir di masyarakat, para pejabat tanpa malu mengejar kenikmatan dan berfoya dalam kesejahteraan, sementara kesejahteraan rakyatnya menyusul nanti-nanti. Entah kapan. Jangankan menteri, menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat saja sudah mendatangkan kenikmatan yang luar biasa dengan berbagai fasilitas. Padahal namanya wakil rakyat. Rakyatnya sendiri tetap hidup dalam kesulitan.
Lihat saja begitu para wakil rakyat kita dilantik. Hal pertama yang mereka ributkan adalah fasilitas yang penuh nikmat. Gaji pokok memang tidak begitu besar, sedikit lebih tinggi daripada upah minimum regional. Namun ada berbagai tunjangan yang menyertainya yang jauh lebih tinggi. Dan kini, para wakil rakyat itu masih akan diiming-imingi tunjangan rumah yang kisarannya Rp 30-50 juta tiap bulan. Alasannya membuat rakyat terkesima: rumah dinas mereka banyak tikusnya. Lho, kenapa tidak ditambah “tunjangan racun tikus” setiap bulan yang harganya hanya Rp 50 ribu?
Ini adalah bentuk nirempati atas kehidupan rakyat, sementara kita tahu bagaimana selama ini para wakil rakyat bekerja. Produk legislasinya lebih banyak untuk mendukung pemerintah, hanya menyerukan suara “setuju” terhadap kebijakan pemerintah. Lalu bayangkan jika semua partai ada dalam koalisi pemerintahan itu, siapa yang menjadi penyeimbang?
Kita memang layak pesimistis terhadap pemerintahan Prabowo jika melihat langkah yang mengawali kerjanya ini. Apalagi pendampingnya adalah wakil presiden yang cacat konstitusi dalam pemilihannya dan menjadi beban. Namun janganlah kita berhenti mencintai negeri ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo