Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mudin Simanihuruk
Guru Besar Matematika Universitas Bengkulu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemilihan presiden dan wakil presiden tinggal beberapa hari lagi. Adakah kemungkinan pasangan calon presiden Jokowi dan Prabowo memperoleh jumlah suara yang sama? Jika jumlah suara sah adalah bilangan ganjil, dapat dipastikan salah satu calon akan memperoleh jumlah suara minimal 50 persen + 1. Sebaliknya, jika jumlah suara sah adalah bilangan genap, tidak selalu ada salah satu calon yang akan memperoleh jumlah suara minimal 50 persen + 1. Jika jumlah suara sah adalah 9 suara, salah satu pasangan pasti memperoleh suara minimal 5 suara. Jika jumlah suara sah adalah 8 suara, belum tentu ada pasangan yang memperoleh minimal 5 suara. Bisa saja kedua pasangan sama-sama memperoleh 4 suara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemungkinan terjadinya peristiwa jumlah perolehan suara sama dalam pemilihan umum sangat kecil. Tapi sejarah pemilihan umum di dunia menunjukkan bahwa hal seperti ini mungkin saja terjadi. Dalam pemilihan umum Amerika Serikat pada 1888, calon presiden Thomas Jefferson dan Aaron Burr memperoleh suara yang sama untuk electoral college (ThoughtCo, 26 Maret 2018). Dalam pemilihan Gubernur Negara Bagian Virginia, Amerika Serikat, pada 2017, calon gubernur Shelly Simonds dan David Yancey juga memperoleh suara sama untuk electoral college (USA Today, 21 Desember 2017).
Berapa peluang untuk memperoleh jumlah suara sama? Beck (Public Choice, Volume 23, Issue 1, 1975) membuktikan bahwa peluang terjadinya suara sama adalah √2/πN dengan N sebagai jumlah suara sah dalam pemilu dengan dua pasangan calon, dengan N adalah bilangan genap dan π = 3,14. Jumlah peserta pemilih tetap dalam pemilu mendatang adalah 192.828.520 orang. Dengan rumus Beck, peluang terjadinya suara sama adalah 0,000072. Dengan kata lain, peluang Indonesia tidak memiliki presiden dan wakil presiden pada 17 April 2019 adalah 0,000072.
Sesuai dengan Pasal 6A ayat 3 UUD 1945, ada dua syarat untuk menjadi presiden dan wakil presiden: suara mayoritas, yaitu lebih dari 50 persen suara dalam pemilihan umum, dan persebaran suara, yaitu sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Jika perolehan suara kedua pasangan calon sama-sama 50 persen, mereka tidak memenuhi syarat suara mayoritas. Hal ini dapat terjadi bila jumlah suara sah adalah bilangan genap. Sesuai dengan UUD 1945, pemilihan putaran kedua harus dilaksanakan meskipun hanya diikuti dua pasangan calon. Karena peserta pemilu hanya dua pasangan, suara terbanyak pertama dan kedua dalam Pasal 6A ayat 4 UUD 1945 adalah kedua pasangan calon karena mereka memperoleh suara terbanyak dengan jumlah yang sama.
Hal ini membuktikan tiga hal. Pertama, suara terbanyak pertama dan kedua tidak berimplikasi pada jumlah pasang calon minimal tiga, seperti yang dituntut para pemohon dalam Petitum Nomor 2 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUU-XII/2014. Kedua, perolehan suara sama meruntuhkan semua argumen MK, yang mengabulkan permohonan para pemohon dalam Putusan MK Nomor 50/PUU-XII/2014. Ketiga, meneguhkan argumentasi dissenting opinion hakim konstitusi Wahiduddin Adams dalam putusan tersebut.
Jika kedua pasangan tidak memenuhi syarat suara mayoritas, pasangan tersebut tidak dapat dilantik menjadi presiden dan wakil presiden. Dengan demikian, pemilu harus digelar dalam dua putaran. Jika salah satu pasangan memenuhi syarat suara mayoritas tapi tidak memenuhi syarat persebaran suara, pasangan tersebut tidak dapat dilantik menjadi presiden dan wakil presiden. Jadi, pemilu pun harus diselenggarakan dalam dua putaran.
Berdasarkan argumentasi tersebut, Pasal 3 ayat 7 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 5 Tahun 2019 bertentangan dengan Pasal 6A ayat 3 dan 4 UUD 1945. Sebab, pasal itu akan melantik pasangan presiden dan wakil presiden yang memenuhi syarat suara mayoritas meskipun tidak memenuhi syarat persebaran suara.
Jika tidak ada pasangan yang memenuhi syarat suara mayoritas dalam pemilu putaran kedua, tak ada aturan yang dapat menetapkan presiden dan wakil presiden. Jika hal ini terjadi, Indonesia tidak memiliki presiden dan wakil presiden. Maka, KPU harus mengantisipasi jalan keluar atas masalah seperti ini sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan dalam pemilu.