"Kito shen ho nyi mak amia." Begitulah saya mendengar ucapan yang keluar dari mulut remaja WNI keturunan Cina pelayan toko sepatu di Kota Lhokseumawe, Aceh Utara. Saya tidak habis pikir, mengapa logat Hokian-nya masih kental. Padahal, dia adalah generasi kelima atau keenam yang hidup beranak-pinak di bumi pertiwi ini. Kenyataan itu saya hubungkan dengan ulasan TEMPO (24 Agustus 1991, Laporan Utama). Dari sekian banyak fakta yang dipaparkan TEMPO, ditambah hasil pengamatan saya sendiri, rasanya pembauran tidak mungkin terwujud. Cina tetap Cina, walaupun kulitnya sudah hitam dan matanya berangsur belo (besar). Sebab, yang bisa mengubah seseorang adalah filsafat hidupnya. Selama filsafat hidup nonpri itu masih berpedoman pada ajaran nenek moyangnya, selama itu pula Cina tidak bisa berbaur dengan pribumi di Indonesia. Berbagai upaya untuk mempercepat pembauran telah diusahakan sejak awal Orde Baru. Antara lain dengan keluarnya peraturan pemerintah tentang penutupan sekolah Cina, pelarangan penggunaan aksara dan bahasa Cina di tempat-tempat umum. Dalam soal-soal tersebut, hasilnya memang sudah tampak. Tetapi, bagaimana dengan pertalian keluarga alias kawin campur? Sampai saat ini hanya beberapa gelintir nonpri yang mau melakukannya. Rasanya, Pemerintah perlu mengevaluasi dan merumuskan kembali hasil pembauran yang telah dicapai lewat peraturan dan undang-undang yang diterapkan, agar nonpri tidak menjadi warga negara semu. Apalagi kita baru saja melakukan normalisasi hubungan dengan RRC. Sewaktu-waktu seorang konglomerat bisa mendarat di Beijing atau Shanghai yang memungkinkan mereka lebih mudah menyerap kembali kebudayaan leluhurnya. Maka, dikhawatirkan usaha pembauran akan semakin sulit. Kita perlu belajar dari Malaysia, misalnya, yang proyek pembaurannya sukses. Kita lihat di sana, Cina bisa menjadi polisi atau pegawai negeri, yang di Indonesia belum dilakukan. Ada beberapa alternatif yang dapat ditempuh untuk menyukseskan pembauran di negeri ini. Pertama, usahakan agar tidak ada sekolah favorit untuk nonpri, yang bisa membuat anak-anak mereka berkumpul di situ. Kedua, hindari lokalisasi secara langsung atau tidak langsung kompleks permukiman yang melulu dihuni orang Cina. Ketiga, meminta agar nonpri Cina tidak mewariskan falsafah hidup yang bertentangan dengan falsafah hidup pribumi. Bila tiga cara itu dilaksanakan, mudah-mudahan kita bisa sejalan dan seirama dalam membangun negeri ini tanpa saling curiga. DRS. MAWARDI HASAN Perpustakaan IAIN Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini