Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Pemimpin dan Pohon Sukun

9 Juni 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ignas Kleden*

JIKA Anda datang ke Ende, Flores, dengan menumpang kapal laut atau speedboat, Anda akan tiba di pelabuhan yang terletak di sebelah barat kota. Dari sana terlihat Taman Rendo (rendo = rindu), yang berbatasan dengan Lapangan Pancasila. Kedua tanah lapang itu terpisah oleh pohon sukun tempat Bung Karno dulu kerap duduk merenung. Ketika itu, pada 1934-1938, Sukarno diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Konon, di bawah naungan pohon sukun, presiden pertama itu memastikan gagasannya tentang Pancasila yang diimpikannya menjadi dasar negara Indonesia merdeka.

Pada 2011, Taman Rendo dan Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende direnovasi sebagai situs sejarah. Rumah Bung Karno direnovasi secara terbatas, karena undang-undang tentang situs sejarah melarang perubahan bentuk dan letak fisik sebuah situs. Undang-undang hanya mengizinkan perbaikan bagian yang rusak berat. Peninggalan Bung Karno juga dikumpulkan—tongkat, pulpen, biola tua, dan sebuah lukisan yang dibuat oleh Bung Karno sendiri, untuk menyebut beberapa.

Taman Rendo direnovasi secara lebih ekstensif. Taman seluas 150 x 75 meter diperbarui. Dari arah pohon sukun, dibangun kolam sepanjang 45 meter. Di atas kolam itu didirikan bangku beton yang sedikit menutup permukaan kolam. Panjang bangku itu 17 meter, lebarnya 8 meter, dan tinggi 1,20 meter. Di atas bangku beton tersebut ditempatkan patung Bung Karno, karya pematung dan pelukis Hanafi, dalam ukuran dua kali tubuh manusia. Bung Karno—ditempatkan tidak di tengah-tengah, tapi ke pinggir ke arah pohon sukun—tampak duduk merenung, memandang jauh ke arah laut.

Mengapa di pinggir dan bukan di tengah-tengah? Andramatin, arsitek taman itu, mengatakan posisi patung dipilih untuk menunjukkan bahwa Bung Karno merupakan tokoh yang pada masa itu dipinggirkan. Kalau dipandang dengan cermat, khususnya dari belakang, tampak bahwa kaki kanan Bung Karno yang ditumpangi kaki kirinya mengambang satu sentimeter di atas lantai. Baik posisi duduk Bung Karno maupun letak kakinya yang agak melayang di atas lantai merupakan trik arsitektural untuk menciptakan efek bahwa tokoh ini seorang yang berpikir dan bahkan berada out of the box.

Perihal pohon sukun, ada cerita unik. Menurut kesaksian orang-orang Ende dan para pejabat daerah, pohon sukun dari masa pembuangan Bung Karno tumbuh dengan lima cabang. Pohon itu sudah lama mati. Pemerintah daerah lalu menanam pohon sukun baru dengan lima cabang di tempat yang sama. Bertahun-tahun tumbuh dengan lima cabang, pohon itu tak pernah berbuah. Baru belakangan, pada peresmian patung itu, 1 Juni 2013, pohon tersebut berbuah.

Pembuatan kolam dengan bangku beton panjang tempat duduk patung Bung Karno diusahakan sedapat mungkin tidak menghilangkan pohon-pohon beringin—jumlahnya diperkirakan 17 batang—yang tinggi dan rimbun di sekujur taman.

Di dalam taman sebelah utara, searah dengan kolam dan patung, dibangun dek kayu selebar 14 meter dalam dua bagian: yang landai dan yang tinggi. Bagian yang landai panjangnya 8 meter dan yang tinggi 17 meter. Dek kayu ini dimaksudkan sebagai ruang publik yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan seni dan rekreasi, seperti pementasan drama dan musik, pembacaan puisi, diskusi di udara terbuka, atau tempat hangout bagi siapa saja yang mempunyai waktu senggang. Dari arah laut, pemandangan ke arah dek kayu ini menjadi unik karena adanya semacam optical illusion. Bagian dek yang landai berada di bawah kerimbunan pohon beringin dan menjadi agak gelap pada siang hari, sehingga dek yang tinggi letaknya terlihat seakan-akan mengambang di udara.

Patung Bung Karno di Taman Rendo merupakan fokus yang menghubungkan berbagai jalinan asosiasi dan jejaring makna yang ada di taman itu. Ini merupakan refleksi dari pribadi, perjuangan dan kepemimpinan Bung Karno selama hidupnya. Baik Sukarno sebagai pemimpin partai politik semasa muda, sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan setelah Indonesia merdeka, maupun sebagai pemimpin besar bagi apa yang dibayangkannya sebagai revolusi yang belum selesai. Dengan semua peran itu, Sukarno menjadi titik koordinat bagi berbagai kompromi dan konsensus politik sekaligus titik api bagi kontroversi dan kontradiksi politik.

Bung Hatta, misalnya, menolak konsep revolusi yang belum selesai. Dalam pandangan Hatta, revolusi selalu merupakan ledakan tenaga semua kekuatan sosial, yang menggoyang sendi-sendi dan mengubah susunan masyarakat. Akibatnya, revolusi selalu berlangsung singkat dalam ukuran minggu atau sekadar satu-dua bulan. Itu yang terjadi pada Revolusi Prancis 1789 dan Revolusi Bolshevik 1917 di Rusia.

Dalam pengadilan atas dirinya di Bandung pada Agustus 1930, Sukarno bertanya kepada hakim tentang apa sebenarnya revolusi dan sikap revolusioner yang dituduhkan kepadanya dan kepada Partai Nasional Indonesia yang ia pimpin. Pertanyaan itu dijawabnya sendiri: revolusi bukan bedil, bukan meriam, bukan bom, dan bukan pemberontakan. Revolusi adalah omvorming in snel tempo atau perubahan yang berlangsung serba cepat, suatu Umgestaltung vom Grund aus atau penjungkirbalikan susunan lama dari dasar-dasarnya.

Apa pun perbedaan paham di antara para pemimpin masa itu, hampir semua dari mereka mempunyai pandangan dan keyakinan politik serta paham yang jelas tentang masyarakat baru yang hendak dicapai. Mereka juga memperlihatkan kepemimpinan dengan cara masing-masing.

Dari mereka kita belajar, memimpin berarti memberikan arah dan perlindungan kepada rakyat dan bukan meminta perlindungan dari para pengikut. Memimpin berarti berani mengambil keputusan yang penuh risiko dan bukan bermain aman dalam krisis politik. Memimpin berarti memberi kepercayaan diri kepada orang kecil seraya mengangkat martabat mereka dan bukan memanipulasi tepuk tangan orang banyak untuk memuliakan diri sendiri. Pemimpin adalah penunjuk jalan yang berada di depan, bukan orang yang melihat arah angin dan memboncengnya untuk mencari selamat.

Pemimpin masa sekarang tentu harus memperhatikan pembangunan ekonomi nasional dan memperhitungkan balanced budget. Tapi Sukarno telah memperlihatkan dengan angka-angka statistik bahwa balanced budget yang tidak memperhatikan balance of power hanya menghasilkan kemakmuran segelintir orang dan kemiskinan bagi mayoritas rakyat. Kekuasaan politik yang mau menang sendiri tanpa balance of justice akan menghasilkan ketidakadilan yang melestarikan eksploitasi satu golongan terhadap golongan lain. Inilah intisari sosio-demokrasi sebagai pasangan sosio-nasionalisme dalam Pancasila yang dipidatokan dengan gemuruh pada 1 Juni 1945.

Ende pastilah bukan kota pertama tempat Sukarno memikirkan dasar negara. Artikelnya, "Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme", pada 1926, yang sangat kontroversial secara akademis, sudah menunjukkan pergulatannya dengan pikiran-pikiran fundamental mengenai dasar negara. Ende mungkin tempat Sukarno—dalam kesunyian isolasi—memantapkan hati tentang apa yang sudah dipikirkan jauh-jauh hari. Kalau ada utang budi Bung Karno kepada pulau kecil tersebut, itu adalah ruang dan waktu yang ia dapatkan untuk merenung tentang berbagai soal yang dianggapnya penting bagi Indonesia merdeka.

Utang budi itu telah dibalas secara memadai oleh pemerintah Republik Indonesia melalui Wakil Presiden Boediono, yang memprakarsai renovasi situs Bung Karno.

*) Ketua Yayasan Ende-Flores, pengelola situs Bung Karno di Ende

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus