Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akhmad Sahal*
Benarkah memilih pemimpin nonmuslim hukumnya haram? Setidaknya begitulah pendapat sebagian kalangan Islam seperti yang mengemuka dalam kisruh isu SARA di pemilihan umum kepala daerah DKI Jakarta akhir-akhir ini. Dalil Al-Quran yang mereka pakai di antaranya surat Ali Imran 28 dan Al -Ma'idah 51. Dalam terjemahan Indonesia, ayat terakhir berbunyi: "Hai, Orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim."
Kata "pemimpin-pemimpin" pada ayat di atas adalah terjemahan dari kata Arab, auliya'. Pertanyaannya: tepatkah terjemahan tersebut? Coba kita telusuri terjemahan ayat ini dalam bahasa Inggris. Yusuf Ali dalam The Meaning of the Holy Qur'an menerjemahkan auliya' dengan friends and protectors (teman dan pelindung). Muhammad Asad dalam The Message of the Qur'an dan M.A.S. Abdel Haleem dalam The Qur'an sama-sama menerjemahkannya dengan allies (sekutu). Bagaimana dengan penerjemah Inggris yang lain? Muhammad Marmaduke Pickthal dalam The Glorious Qur'an mengalihbahasakan kata auliya' menjadi friends. Begitu juga N.J. Dawood dalam The Koran dan M.H. Shakir dalam The Qur'an. Sedangkan berdasarkan The Qur'an terjemahan T.B. Irving, auliya' diartikan sebagai sponsors.
Walhasil, tak satu pun terjemahan Inggris yang saya sebutkan tadi mengartikan auliya' sebagai "pemimpin". Dan, secara bahasa Arab, versi terjemahan Inggris ini agaknya lebih akurat. Perlu diingat, kata auliya', bentuk plural dari waliy, bertaut erat dengan konsep wala' atau muwalah, yang mengandung dua arti: pertama, pertemanan dan aliansi; kedua, proteksi atau patronase (dalam kerangka relasi patron-klien). Karena itulah agak mengherankan ketika dalam terjemahan Indonesia pengertian auliya' disempitkan, kalau bukan didistorsikan, menjadi "pemimpin", yang maknanya mengarah pada pemimpin politik.
Lantas bagaimana kita mesti memahami ayat wala' seperti QS 5:51 dan QS 3:28 yang secara harfiah melarang kaum mukmin menjalin pertemanan dan aliansi dengan kaum nonmuslim, apalagi minta perlindungan dari mereka? Apakah ini larangan yang berlaku mutlak atau situasional?
Memahami ayat tersebut secara leterlek dan berlaku mutlak di mana pun dan kapan pun akan sangat bermasalah. Ada tiga alasan. Pertama, makna harfiah ayat itu bertentangan dengan ayat lain yang justru menyatakan kebalikannya. Misalnya ayat yang menghalalkan laki-laki muslim menikah dengan perempuan Yahudi atau Kristen. Dalam ayat yang sama juga ditegaskan bolehnya kaum muslim untuk memakan makanan mereka, dan sebaliknya (Q 5:5). Selain itu, ada ayat lain yang menegaskan bahwa Allah tidak melarang umat Islam "berbuat baik dan berlaku adil" terhadap pemeluk agama lain yang tidak memerangi mereka dan mengusir dari tanah kelahiran mereka (QS 8).
Kedua, Nabi sendiri pernah menjalin aliansi dan meminta perlindungan dari kalangan nonmuslim. Kita ingat cerita hijrah para sahabat Nabi ke Abyssinia (Habasyah, Ethiopia), yang saat itu diperintah seorang raja Kristen. Kisah ini menunjukkan bahwa Nabi pernah meminta perlindungan kepada nonmuslim. Ketika di Madinah, Rasulullah memelopori pakta aliansi dengan komunitas Yahudi kota itu dalam bentuk Piagam Madinah. Bahkan, pada level personal, Nabi bermertuakan orang Yahudi, yakni dari istrinya, Sofiah binti Huyai.
Ketiga, kalau QS 3:28 dan QS 5:51 dipahami secara harfiah dan mutlak, lalu bagaimana dengan pendirian Republik Indonesia yang dalam arti tertentu merupakan hasil kerja sama antara kaum muslim dan pemeluk agama lain? Kasus lain: bagaimana dengan keterlibatan negara-negara Islam di Perserikatan Bangsa-Bangsa yang notabene terdiri atas banyak negara nonmuslim sedunia? Bagaimana pula dengan Arab Saudi, negara yang tak mungkin berdiri tanpa sokongan dari imperialisme Inggris untuk menghancurkan Khilafah Utsmaniyah pada awal abad ke-20? Sampai sekarang pun kita tahu Saudi mendapat perlindungan dari Amerika Serikat. Bukankah semua itu termasuk kategori menjadikan nonmuslim sebagai auliya'? Berarti haram? Oh, alangkah absurdnya jalan pikiran semacam ini!
Karena itulah ayat tersebut mesti ditafsirkan secara kontekstual. Penerapannya pun tak bisa sembarangan. Di sini ada baiknya saya mengutip Rashid Rida. Menurut dia, ayat-ayat pengharaman aliansi dengan dan minta proteksi dari nonmuslim sejatinya hanyalah berlaku untuk nonmuslim yang nyata-nyata memerangi kaum muslim. Aliansi yang dilarang juga yang nyata-nyata merugikan kepentingan umat Islam (Tafsir Al-Manar, Vol. 3, 277). Pandangan Rida ini juga sejalan dengan pendapat Fahmi Huwaydi, pemikir Islam kontemporer dari Mesir.
Dalam karyanya, Muwathinun La Dimmiyyun (Warga Negara, Bukan Dzimmi), Huwaydi menyatakan bahwa Islam sejatinya tidak melarang umatnya untuk membangun solidaritas kebangsaan yang berprinsip kesetaraan dengan nonmuslim, khususnya Kristen Koptik di Mesir. Ayat wala'/muwalah, di mata Huwaydi, semestinya tidak dilihat sebagai larangan terhadap solidaritas semacam itu. Ayat 5: 51, misalnya, sebenarnya diarahkan kepada kaum munafik yang ternyata membantu pihak nonmuslim yang kala itu berperang dengan umat Islam.
Dengan kata lain, dalam pandangan Rashid Rida dan Fahmi Huwaydi, QS 3:28 dan QS 5:51 tidak berlaku secara mutlak, tapi situasional. Artinya, larangan menempatkan nonmuslim sebagai sekutu atau protektor hanya berlaku manakala pihak nonmuslimnya jelas-jelas memerangi umat Islam. Adapun jika mereka tidak seperti itu, berarti larangan tadi otomatis tidak berlaku.
Menarik untuk dicatat, argumen Rida dan Huwaydi ini sebenarnya bisa dipakai juga buat membantah klaim sejumlah kalangan Islam yang bergeming memaknai kata auliya' dalam QS 3:28 dan 5:51 dengan bersandar pada terjemahan Indonesia yang saya kutip di awal tulisan, yakni sebagai "pemimpin". Dengan demikian, mereka tetap ngotot untuk mengharamkan memilih pemimpin nonmuslim. Terhadap mereka, kita bisa katakan bahwa ayat tersebut tidaklah berlaku mutlak, tapi situasional. Artinya, larangan menjadikan nonmuslim sebagai pemimpin berlaku manakala si nonmuslim nyata-nyata memerangi umat Islam. Di luar itu, larangan tersebut tidak berlaku.
Tapi terlepas dari itu, kalaupun auliya' tetap diartikan sebagai "pemimpin", penerapan QS 3:28 dan 5:51 untuk konteks Indonesia modern juga salah sasaran. Perlu diingat, negara kita berbentuk republik yang menerapkan demokrasi langsung, sesuatu yang sama sekali tidak dikenal dalam sistem politik Islam klasik. Dalam sistem politik Islam klasik, yang lazimnya berbentuk kerajaan, otoritas kepemimpinan yang dipegang khalifah didasarkan pada legitimasi kuasa dari Tuhan, bukan dari rakyat. Pemimpin dianggap sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, dengan kekuasaan yang absolut. Tidak ada yang namanya pembagian kekuasaan ala Trias Politica sehingga sang pemimpin memegang kekuasaan tertinggi dalam ranah legislatif, eksekutif, dan yudikatif sekaligus. Dengan kata lain, kepemimpinan dengan model "Daulat Tuanku".
Ini secara diametral berbeda dengan sistem republik, yang menganut asas kepemimpinan bersendi "Daulat Rakyat". Di sini pemimpin bukanlah pemegang kedaulatan tertinggi, karena legitimasinya justru berasal dari rakyat yang memberinya mandat melalui pemilu. Kekuasaannya tidak tak terbatas, karena ia bekerja dalam sistem demokrasi yang menerapkan pembagian kekuasaan. Dalam sistem semacam ini, presiden atau gubernur hanyalah pemegang kuasa eksekutif alias "hanya" pelaksana. Sebagai pemimpin, ia hanya berkuasa sepertiga.
Dengan demikian, kalau memang pemimpin nonmuslim hukumnya haram, semestinya penerapannya untuk konteks negara kita tidak hanya berlaku untuk lembaga eksekutif, tapi juga legislatif dan yudikatif. Ini karena kepemimpinan dalam sistem republik modern bukanlah bersifat personal melainkan kolektif dan sistemik. Tapi, kalau itu dilakukan, sejatinya yang diharamkan bukan hanya memilih pemimpin nonmuslim, melainkan juga bisa mengarah pada pengharaman terhadap republik kita.
Hal lain, kalau memang dipimpin nonmuslim hukumnya haram, bagaimana dengan umat Islam yang menjadi warga negara di India, Amerika, atau Eropa? Apakah mereka semuanya berdosa hanya karena jadi warga negara di negara-negara yang dipimpin nonmuslim? Apakah para pemain bola, seperti Zinedine Zidane, Mesut Oezil, Sami Khedira, Samir Nasri, dan Ibrahim Afellay, yang semuanya berpresiden nonmuslim, harus hijrah ke negara orang tua masing-masing di Timur Tengah?
Dengan paparan di atas, saya ingin menunjukkan bahwa wacana pengharaman pemimpin nonmuslim bukan hanya berbahaya karena membawa kita berkubang dalam isu SARA yang berpotensi memecah belah Indonesia. Yang tak kalah problematis, wacana tersebut ternyata tidak punya pijakan yang kukuh dari kacamata Islam itu sendiri, karena pedomannya adalah terjemahan ayat secara tidak akurat, penafsiran yang sempit, dan penerapan yang salah alamat.
*Wakil Ketua Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika-Kanada
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo