BILA SIM Disabet Zebra, (TEMPO, 3 Agustus Hukum) terungkap perbedaan pendapat. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Soedijono, dan sekjen Peradin, Maruli Simorangkir, sependapat bahwa polisi sebagai pemberi berhak mencabut SIM kembali. Sedangkan seorang ketua pengadilan di Jakarta, dan dari sumber Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang tidak mau disebutkan namanya, mengatakan bahwa hak seseorang (termasuk SIM) hanya bisa dicabut melalui putusan pengadilan. Perbedaan pendapat itu timbul karena dilaksanakannya Operasi Zebra secara serentak di seluruh Indonesia, sejak Juli sampai dengan Oktober, yang mengancam pembatalan SIM pelanggar. Bahkan Polda Jakarta mengancam "mencakungkan", atau menyimpan kendaraan-kendaraan di bekas pergudangan Cakung, Jakarta. Tindakan ini akan dilakukan terhadap pengemudi yang melakukan pelanggaran berat. Pasal 10 KUHP membagi beberapa jenis hukuman antara lain, sebagai hukuman tambahan: Pencabutan beberapa hak tertentu (Pasal 10 ayat b sub 1e KUHP). Hak tertentu berarti bukan semua hak. Orang tidak mungkin dicabut semua haknya karena berakibat orang itu tak akan dapat hidup. Hak yang dapat dicabut, antara lain, adalah hak untuk melakukan pekerjaan tertentu. Pekerjaan, maksudnya, semua pekerjaan yang bukan pekerjaan negara, yakni pekerjaan partikulir, misalnya dagang, perusahaan, tukang, dan sopir. Jadi, hak seorang sopir untuk membawa/mengemudikan kendaraan dapat dicabut apabila dia melakukan pelanggaran. Tapi siapakah yang berhak mencabutnya? Menurut pasal 35 ayat 1 sub 6e KUHP, hak si tersalah yang boleh dicabut dengan putusan hakim adalah hak melakukan pekerjaan tertentu. Lamanya hukuman pencabutan hak itu, bila dijatuhkan hukuman denda, sekurang-kurangnya dua tahun dan selama-lamanya lima tahun (Pasal 38 ayat 1 sub 3e KUHP). UU Nomor 3 Tahun 1965 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, dalam pasal 33-nya menyebutkan, antara lain, bahwa pengemudi yang melakukan pelanggaran dapat dicabut wewenangnya untuk mengemudikan kendaran bermotor dengan suatu putusan hakim. Lamanya pencabutan hak itu, menurut pasal 33 ayat 1, paling lama satu tahun dan menurut ayat 2-nya, paling lama dua tahun. Jadi, dari beberapa ketentuan perundang-undangan tersebut, jelaslah sudah bahwa yang berhak mencabut SIM dan beberapa hak tertentu lainnya hanyalah pengadilan dengan suatu putusan hakim. Menurut pasal 38 ayat 1 KUHAP, penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat. Ayat 2-nya berbunyl: Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat 1, penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuan. Sesuai dengan ketentuan tersebut, polisi tidak berwenang menyita SIM atau STNK dari si pelanggar, tanpa ada izin atau persetujuan ketua pengadilan negeri setempat. Jadi, penahanan SIM atau STNK oleh polisi pun sebenarnya tidak ada dasar hukumnya. Apalagi, menahan atau "mencakungkan" kendaraan yang terjaring dalam suatu operasi. Kendaraan adalah benda bergerak yang menjadi obyek hak milik. Ini dibuktikan dengan adanya BPKB (Eigendom), maka penyitaan atas hak ini pun harus dengan izin atau persetujuan ketua pengadilan negeri setempat sesuai dengan undang-undang. Demi tertib lalu lintas, dan meningkatkan disiplin lalu lintas para pengemudi, serta mengurangi korban kecelakaan lalu lintas, kita tentu mendukung Operasi Zebra yang dilaksanakan saat ini. Namun, pelaksanaannya hendaknya tetap didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang berlaku. Semoga era pembangunan hukum pada Pelita IV ini, yang di canangkan pemerintah, dapat terwujud dengan baik. SYAMSUDIN MANAN, S.H. Perumahan Pengadilan Negeri Singkil, Aceh Selatan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini