Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Berita Tempo Plus

Pengaplingan luar angkasa

Tanggapan pembaca soal uu agraria (pasal 1 ayat 6), terutama menyangkut batas wilayah di atas bumi dan air dalam wilayah ri.

7 Agustus 1993 | 00.00 WIB

Pengaplingan luar angkasa
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Saya tercengang mendengar pertanyaan adik saya, penerbang dari Pusat Air Force di Alabama, AS. Ia bertanya, ''Mas kan ahli Hukum Agraria Indonesia yang materinya meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Nah, 'ruang angkasa' itu batasnya setinggi apa?'' Kalau ada negara mempunyai satelit berada di luar GSO (Geostationary Satellite Orbit) apa bisa digugat? Siapa yang berhak menggugat dan kepada siapa? Ini pekerjaan rumah berat bagi saya. Soalnya, saya hanya sekadar penggemar dalam mengamati masalah-masalah pertanahan di Indonesia, yang tunduk pada Undang-Undang Pokok Agraria, yang materinya meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Yang disebut ruang angkasa, menurut UU Pokok Agraria (Pasal 1 Ayat 6), adalah ruang di atas bumi dan air dalam wilayah Republik Indonesia. Batasnya? Ditinjau dari pengertian kedaulatan suatu negara, tentunya, rumusan itu tak sama dengan yang dimaksud oleh UU Pokok Agraria. UU Pokok Agraria merumuskan ketinggian ruang angkasa itu dalam batas-batas tertentu. Yakni, sekadar diperlukan untuk kepentingan yang berhubungan langsung dengan penggunaan tanah sesuai dengan UU Pokok Agraria Indonesia dan peraturan- peraturan hukum lainnya yang lebih tinggi (vide Pasal 4 Ayat 2). Untuk pembuatan hujan buatan pada suatu wilayah di Indonesia, misalnya, tentu akan diperlukan ketinggian yang berbeda. Nah, itulah batas ruang angkasa menurut UU Pokok Agraria. Jadi, tak termasuk kegiatan penerbangan, dalam arti, keamanan nasional. Tapi, menurut Prof. Dr. A.P. Parlindungan, S.H., ahli Hukum Agraria Indonesia, batas ruang angkasa dalam arti kedaulatan negara adalah sebatas mana negara itu mampu mempertahankannya. Ini, tentunya, meliputi pengertian Hukum Pertahanan dan Keamanan Nasional suatu negara. Bila dihubungkan dengan pertanyaan adik saya itu, tentu yang dimaksud: apakah sebuah negara punya kedaulatan atas wilayah yang ada di atas ruang angkasa wilayah kedaulatannya? Soalnya, di atas wilayah Indonesia saja, kini sudah terdaftar lebih dari 300 satelit. Sebagian memang belum diluncurkan, tapi kelak kalau semua satelit itu sudah mangkal di atas Indonesia, bisa dibayangkan betapa rumitnya mengatur arena Flash Gordon itu. Yang jelas, satelit-satelit itu bukanlah milik Indonesia semua. Di antaranya, tentu ada yang digunakan untuk kepentingan militer. Lalu bayangkan, berapa besar kekuatan daya pancar sinyal satu buah satelit saja. Konon, sebuah satelit yang ditempatkan pada orbit geostasioner (ketinggian 36.300 km) cukup untuk memancarkan sinyalnya ke sepertiga bagian dunia. Jadi, sejauh manakah batas wilayah suatu negara itu? Hukum untuk masyarakat atau masyarakat untuk hukum? Inilah permasalahan pokoknya. Tampaknya luar ruang angkasa merupakan daerah tak bertuan, dan di situ berlaku hukum: siapa datang lebih dulu dialah yang mendapatkannya. Bisakah ini diubah? Hukum, seperti biasanya, selalu ketinggalan dalam menangkap masalah yang timbul dalam perkembangan zaman. Teknologi yang berkembang pesat membuat batas-batas negara menjadi tak banyak berarti. Kini tiba saatnya bagi pakar-pakar hukum, terutama pakar hukum luar ruang angkasa, mengambil ancang-ancang untuk merumuskan ketentuan-ketentuan jatah GSO bagi kepentingan- kepentingan negara di dunia ini. Rumusnya adalah masyarakat menciptakan hukum. Tapi bila sesuatunya telah diciptakan sebagai hukum, maka masyarakat itu sendiri haruslah tunduk menaatinya tanpa kecuali. Slot di GSO itu memiliki nilai komoditi tersendiri seperti yang telah mulai dilakukan oleh Tonga, sebuah negara kecil di Pasifik Selatan. Bisa jadi negara ini menjadi calo kapling perdana di luar ruang angkasa. Siapa bilang outerspace merupakan daerah tak bertuan. Ketentuan hukum itulah yang akan menetapkan batas-batas kapling di luar ruang angkasa. Kini, tiba saatnya, hukumologi menunggu data teknologis dari teknologi untuk diantisipasi dan diakomodasi menjadi sebuah ketentuan hukum yang menetapkan batas-batas GSO. M. SOEPANGAT, S.H. Jalan Palem Barat 1 Kel. Duri Kepa Kebon Jeruk Jakarta Barat 11510

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus