Keppres No. 56 Tahun 1988, pada hakikatnya menunjukkan dan memerintahkan kepada semua bendaharawan instansi Pemerintah dan BUMN/BUMD agar memotong Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% atas dirinya sendiri. Itu dilakukan bila para bendaharawan itu melakukan pembayaran kepada pihak lain (rekanan) yang telah menjual barang apa pun kepada instansinya. Jumlah uang itu harus disetorkan ke kas negara sebagai pembayaran pajak. Juga terhadap pemakaian jasa. Perlu dikemukakan: 1. Menurut saya, Keppres No. 56 Tahun 1988 itu bertentangan dengan ketentuan UU Pajak Pertambahan Nilai No. 8 tahun 1983. Sebab keppres itu telah merombak hak Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang, menurut ketentuan undang-undang, sebagai yang wajib memu- ngut PPN/PPnBM dari pihak pembeli barang atau pemakai jasa, lalu menjadi pihak yang wajib dipungut oleh bendaharawan. Dalam hal ini, mereka yang dirugikan bisa mengajukan gugatan untuk menguji kebenaran materiil (judical review) keppres tersebut apakah bertentangan dengan undang-undang atau tidak pada Mahkamah Agung. Itu sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1993 yang berlaku mulai 15 Juni 1993. 2. Keppres ini juga menimbulkan ''kekacauan hukum'', menyulitkan dan merugikan para PKP. Misalnya, seorang PKP X membeli barang pada PKP Y. X tentu saja membayar PPN 10% kepada Y. Lalu barang itu dijual X kepada sebuah BUMN, Z namanya. Pada waktu pembayaran harga barang, bendaharawan Z memotong PPN 10% dari harga barang itu. Itu berarti X telah dirugikan dua kali, sebab ia tidak bisa memperhitungkan jumlah PPN 10% yang telah dibayarkannya pada Y dengan jumlah PPN yang seharusnya dia setorkan. Ia harus menyetor penuh kepada sang bendaharawan. 3. Jika bendaharawan instansi pemerintah atau BUMN/BUMD itu tidak menyetorkan uang pajak yang telah dipungutnya ke kas negara, tapi dimasukkan ke kantong sendiri, tidak ada sanksi apa pun berdasarkan ketentuan undang-undang pajak yang dapat dijatuhkan kepadanya. Sebab, sang bendaharawan bukanlah PKP. Mungkin, pada bendaharawan itu dapat dijatuhkan sanksi administratif jabatan oleh atasannya. Tapi jika atasannya ikut terlibat, jelas tidak ada sanksi apa-apa. Enak, bukan? 4. Ini dapat menimbulkan persaingan tak sehat antara perusahaan swasta murni dan perusahaan BUMN/BUMD. Sebab pada perusahaan swasta murni tidak ada keharusan untuk memungut atas dirinya sendiri pada saat dia membeli barang atau memakai jasa. Sedangkan perusahaan BUMN/BUMD terpaksa membayar 10% dari harga barang atau jasa. Dengan sendirinya biaya produksi perusahaan BUMN/BUMD akan lebih besar daripada swasta. Apalagi perusahaan BUMN/BUMD itu harus mengikuti peraturan tender pembelian barang atau jasa yang akan menambah biaya produksi. 5. Instansi pajak (Kantor Pelayanan Pajak) tak berwenang memeriksa bendaharawan sebuah instansi pemerintah atau BUMN/BUMD. Yang berwenang adalah atasan langsung, BPKP, dan inspektorat jenderal. Dan yang boleh menindak bendaharawan adalah atasan langsung. Sebaiknya keppres semacam ini dibatalkan saja merugikan masyarakat, dan supaya tidak ada yang menggugatnya lewat Mahkamah Agung. SUHARSONO HADIKUSUMO Jalan Pejuangan 2 RT 08/10 Kebon Jeruk Jakarta Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini