KUSNI Kasdut, di manakah kau?" "Aku di sini," jawab sebuah suara
di tengah gelap.
Di tengah gelap memang bisa terdengar bermacam-macam suara.
Suara rumput lebat yang gusar karena angin. Suara kelelawar
lewat dan buah nyamplung yang jatuh di pantai dingin. Suara
nyamuk yang garang. Suara katak yang menyelinap. Suara
cengkerik. Juga suara bisik-bisik maling kayu hutan dalam
perjalanan . . .
Maka herankah kau jika dalam gelap bisa terdengar pula suara
percakapan antara Kusni dan Kusno Kasdut?
"Mengapa kau lari dari penjara, Kusni?"
"Karena aku mau membikin sebuah legenda, Kusno."
"Legenda? Sejauh itu?"
"Tak terlampau jauh. Negeri ini telah lama menunggu sebuah
legenda baru. Dan aku telah lama berjalan, dalam kelam yang
panjang, untuk memberinya. Aku merampok, aku membunuh. Aku
melawan. Aku juga melawan dengan minggat dari bui. Lalu aku
nyatakan taubat dan pengakuan dosa. Aku pasang gambar Kristus di
atas pintu sel. Orang-orang pun dengan mata bersinar-sinar
menyaksikan dari jauh sebuah legenda--sebuah dongeng
mengasyikkan tentang penjahat ulung yang tidak cuma itu-itu
juga."
"Itulah sebabnya kau bersedia jadi tokoh novel biografi, dengan
kemungkinan akan dibikin film?"
"Persis. "
"Kau memang picisan, Kusni--seperti Eddy Sampak. Orang ini juga
merampok dan membunuh 6 orang sekaligus, lalu lari, dan berharap
kisahnya akan dibuat film seperti cerita Mat Pici."
"Eddy Sampak memang picisan. Ia hendak memuaskan imajinasinya
sendiri. Aku tidak. Aku rnau memuaskan kehausan orang ramai. Aku
tidak meminta. Aku memberi. Aku tahu di balik sengitnya debat
tentang politik luar negeri atau iklan bir, orang-orang sakit
wasir dan kencing batu menantikan kedatangan legenda seperti
kisahku. Sesuatu yang gagah dan galak."
"Kau melebih-lebihkan dirimu, Kusni. Atau kau melebih-lebihkan
peran orang-Orang yang wasir dan kencing batu."
"Oh Kusno yang Kasdut! Katakanlah siapa kini yang membenciku.
Sebutkan siapa kini yang mendendam padaku. Mungkin tak lebih
dari 10 orang. Bangsa ini pendek ingatan untuk detail. Bukan
karena mereka pemaaf atau bodoh, tapi karena mereka sebagian
besar terdiri dari anak-anak. Mereka dilahirkan setelah museum
kurampok dan nyawa kusabet. Nah, mereka tahu apa?"
"Mereka tetap tahu kau penjahat, bukan pahlawan. Ada
catatannya."
"Tapi serukah hukuman hanya karena catatan dinas? Tak akan punya
daya tonjok! Itulah sebabnya orang-orang Iran dan Khomeini
tergesa-gesa. Tapi dalam hal aku, tak seorang pun tergesa-gesa
menyeretku ke tiang tembak. Maka aku kini hanya Perpanjangan
kenangan resmi, orang hukuman yang tak menarik."
"Tapi bila kau tertangkap lagi, mungkin tak akan ada yang lebih
lama menunggu untuk menembakmu."
"Artinya legenda itu akan lengkap dengan seru. Seperti Si
Pitung."
"Kau bukan Si Pitung, Kusni. Kau tidak membela rakyat kecil. Kau
boleh mengatakan kau pejuang revolusi, tapi jangan menyangka
bahwa pahlawan masa silam berhak berbuat sekehendak hati kini.
Ataukah kau menyangka bahwa perampokan dan pembunuhanmu adalah
untuk keadilan?"
"Siapa tahu? Dan siapa tahu puIa dulu si Pitung cuma seorang
bajingan tengik? Tiap legenda ditafsir menurut keinginan, atau
kemengkalan, di suatu zaman. Si Pitung beredar ketika rakyat
Betawi digencet tuan tanah. Aku mungkin akan dikenang lebih
baik--ketika orang Indonesia mulai merasa bahwa penjara telah
jadi nonsens. Bui tak menjelaskan batas si jahat dengan si baik,
tak melindungi negeri dari perbuatan kriminil! Dan bila bui
telah jadi nonsens, Kusno, maka meloncat dengan gagah dari bui
adalah suatu pemberontakan terhadap nonsens!"
"Bah! Omongan yang penuh kekasdutan ! "
Benarkah? Di dalam gelap, memang bisa terdengar bermacam-macam
suara. Juga suara kekasdutan-kekasdutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini