Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Per diem

Seorang pegawai negeri yang mendapat per diem (uang saku) dalam perjalanan tugasnya berlipat ganda dari penghasilan petani.lebih tinggi lagi untuk konsultan asing. dikotomi utara-selatan muncul lagi.

15 September 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA dia mendapat undangan ke Jakarta, hatinya berbunga-bunga. Persoalannya menjadi lebih cerah ketika - dia dengar bahwa tiket kapal terbang dan per diem (bahasa Latin untuk uang saku tiap hari) akan disediakan oleh Fakultas. Maka, diterimanyalah uang Rp 599.700, dengan perincian Rp 400.000 untuk per diem selama lima hari, dan Rp 199.700 untuk tiket kapal terbang pulang pergi. Sesuai dengan peraturan, untuk golongan IV, per diem disediakan uang Rp 80.000 kalau tujuannya ibu kota propinsi (kecuali Maluku yang besarnya Rp 90.000 dan Irian Jaya yang besarnya Rp 85.000). Perincian untuk jumlah Rp 80.000 itu: untuk penginapan dan makan Rp 71.000, angkutan setempat Rp 4.500, dan uang saku Rp 4.500. Untuk golongan gaji yang lebih rendah, per diem yang diberikan jelas lebih rendah pula dan ada tabel untuk itu -- tabel satuan biaya uang harian perjalanan dinas dalam negeri. Berhubung dia baru saja membuat penelitian tentang kondisi sosial ekonomi di pedesaan, di dalam benaknya per diem Rp 400.000 itu langsung ia kaitkan dengan upah harian buruh tani. Banyak sekali ini, pikirnya. Seorang buruh tani di desa, dalam penelitiannya, mendapat upah Rp 1.000 sehari, suatu jumlah yang lumayan mengingat upah minimum sebenarnya Rp 750. Harus diingat, belum tentu ada pekerjaan 20 hari dalam sebulan. Berarti uang per diem yang diterimanya sama dengan upah- seorang buruh untuk 400 hari kerja. Mungkin bahkan untuk pekerjaan selama 20 bulan. Dalam konteks dikotomi Utara-Selatan, para buruh tani itu adalah bagian Selatan dari Selatan. Setiba di Jakarta, dia langsung ke Hotel Indonesia karena memang kepadanya disarankan agar menginap di sana. Di sana akan ada anggota panitia yang mengurus. Ternyata, menurut bagian informasi, anggota panitia belum datang. Sementara menunggu kedatangan anggota panitia, dia mengecek tarif HI, yang ternyata secara gamblang tersaji dalam sebuah brosur. Tarifnya, astagfirullah. Paling rendah standard single, bertarif US$ 95 atau Rp 171.000 semalam, dan yang paling tinggi presidential sui-te, US$ 700 atau Rp 1.260.000 semalam. Lalu ditambah pula dengan servis dan pajak. Sarapan yang sederhana harganya US$ 7,50 atau Rp 13.500. Tak berani lagi dia menghubungkan tarif tersebut dengan upah buruh tani, dan tak sampai hati dia mengaitkannya dengan Ekonomi Pancasila atau Demokrasi Ekonomi. Setelah tiga jam menunggu, dia bertemu dengan anggota panitia yang ramah, yang memberikan keterangan bahwa ongkos penginapan dan makan ditanggung sendiri. Namun, menurut anggota panitia yang baik hati itu, mereka sudah mengusahakan korting sehingga tarifnya hanya Rp 114.000 semalam, tidak termasuk makan. Untuk ukuran mereka ya-ng berduit di Jakarta, itu dianggap bertarif sedang. Masih ada beberapa hotel yang tarifnya lebih tinggi. Bersama seorang kawan lainnya yang sudah banyak pengalaman dalam bepergian, dia meninggalkan hotel dan menginap di salah satu wisma yang cukup baik, bertarif Rp 30.000 semalam. Pernah dia mendengar bahwa untuk meningkatkan perolehan dari per diem, sering orang menambah jumlah harinya, umpamanya tugas tiga hari dibuat menjadi tujuh hari. Kiranya itu dapat dimaklumi kalau orang menginap di hotel yang berbintang, karena jumlah per diem yang sesungguhnya memang tidak mencukupi. Tetapi sebaliknya bisa menjadi sumber rezeki yang lumayan kalau orang menginap di rumah keluarga dan per diem itu hampir utuh dibawa pulang. Jumlahnya bisa lebih besar dari gaji sebulan. Lalu dia teringat sebuah kisah yang menarik tentang seseorang yang banyak bepergian dan banyak sekali memanipulasi ongkos perjalanan. Jumlah hari perjalanannya tidak tanggung-tanggung, lebih dari 365 hari dalam setahun. Urusan stempel dan tanda tangan memang mudah saja diatur kalau mempunyai banyak koneksi. Orang boleh tolong-menolong dalam hal itu. Ia kirim formulir untuk kantor yang bersangkutan, lalu bagian tata usaha memasang stempel dan menandatanganinya. Nampaknya, tenggang rasa terhadap sesama dan patuh kepada atasan lebih penting daripada memegang teguh peraturan yang berlaku. Negara yang serba lunak atau soft state, kata Gunnar Myrdal. Dia juga sudah mendengar perihal per diem yang tidak hanya utuh dibawa pulang, tapi masih punya tambahan. Per diem plus. Ada kalanya ketika orang yang berkedudukan mau membayar rekeningnya di hotel, dia diberi tahu bahwa semuanya sudah dibayar. Sudah beres. Kecuali itu, sudah pula disiapkan buat dia barang-barang dan buah-buahan yang khas daerah itu. Menurut seorang kawannya, pada perusahaan tertentu ada sistem lainnya yang cukup enak, yakni semua pengeluaran untuk penginapan, makanan, dan ongkos transpor, diganti. Tapi itu berarti kita pulang pokok saja, sedangkan dengan cara per diem ini kita bisa menyisihkan sebagian duit. Tidak pernah menginap di hotel mewah seumur hidup tidak apa, walaupun golongan gaji sudah tinggi. Kawannya itu pernah pula menginap di hotel mewah, penginapan cuma-cuma tapi makanan bayar sendiri. Maka, terjadilah suasana yang kocak karena untuk sarapan dan makan dia pergi ke pinggir jalan. Pernah pula terjadi harga makanan pinggir jalan itu dinaikkan orang untuknya, karena penjual yang lihai itu tahu dia menginap di hotel mewah. Minuman botol dia bawa dari luar untuk dimasukkan ke dalam kulkas dalam kamarnya. Soalnya, Sprite atau Coca-Cola di hotel harganya Rp 1.750. Yang sangat memprihatinkan, kata kawannya itu, ialah kala kita sama-sama bertugas dengan orang kulit putih dengan gaji dan per diem yang sangat berbeda. Mereka sama-sama doktor lulusan luar negeri, tetapi dalam perjalanan untuk tugas yang sama, yang satu berkantung kempis dan satunya lagi berkantung gendut. Yang berkulit cokelat mendapat per diem Rp 80.000. Mungkin hanya itu yang diterima atau mungkin ada tambahan Rp 42.000 sehari untuk Biaya Konsultan Gaji Besar. Sedangkan yang berkulit putih mendapat honorarium US$ 250 (Rp 450.000) sehari atau lebih, ditambah per diem US$ 130 (Rp 234.000) sehari. Untuk konsultan asing, itu bukan tarif yang tinggi. Honornya bisa mencapai US$ 8.000 atau Rp 14.000.000 sebulan. Berhubung tarif hotel berbintang tinggi di atas Rp 100.000 semalam, pernah terjadi konsultan asing menginap di hotel yang mewah dan ahli domestik di hotel yang murahan. Dikotomi Utara-Selatan muncul lagi, apa boleh buat. Ironisnya, konsultan asing itu dibayar oleh Pemerintah Indonesia melalui pinjaman luar negeri. Konsultan Indonesia harus dibayar jauh lebih rendah dan Bappenas sudah membuat peraturan yang bagus untuk itu. Lebih ironis lagi kalau tenaga Indonesia tersebut lebih ahli dan senior dari tenaga luar negeri itu. Namun, kelebihan seorang ahli pribumi adalah kemampuannya untuk tersenyum, tersenyum lebar, dalam semua situasi. Toh begitu banyak buruh tani yang lebih miskin dari dia, yang sama sekali tidak mengerti lika-liku per diem dan upah di negeri ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus