Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Tafsir Keliru Hak Menguasai oleh Negara

Perampasan tanah masyarakat oleh negara kian masif. Disebabkan oleh penafsiran keliru atas hak menguasai oleh negara.

16 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KONFLIK pertanahan yang terjadi, terutama yang dipicu oleh proyek strategis nasional (PSN), diakibatkan tafsir pemerintah yang keliru terhadap makna “hak menguasai oleh negara”. Pemerintah, yang mewakili kepentingan negara, merasa memegang kendali penuh atas bumi, air, dan seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Jadi tak mengherankan pemerintah dengan entengnya merampas dan mengambil alih tanah-tanah rakyat atas nama kepentingan pembangunan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wajah asli negara diperlihatkan melalui keputusan-keputusan pemerintah yang memihak kepada kepentingan investasi, khususnya asing dan swasta, ketimbang kepentingan rakyatnya sendiri. Cara pandang yang keliru ini berdampak tidak hanya terhadap hilangnya tanah dan lahan tempat warga negara berpijak, tapi juga lenyapnya ruang hidup serta masa depannya. Pemerintah tanpa tedeng aling-aling memaksa rakyat menyerahkan tanahnya dengan kedok “kepentingan umum”. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Parahnya lagi, pemerintah seperti hendak mempertahankan politik domein verklaring warisan kolonialisme. Suatu cara pandang yang memperlakukan warga negara seperti tamu di rumahnya sendiri. Negara seolah-olah diposisikan sebagai pemilik tanah. Warga negara yang tidak dapat menunjukkan bukti sah kepemilikan lahan dan tanahnya akan diambil alih secara paksa oleh pemerintah. Politik ini digunakan sebagai dalih untuk merampas tanah-tanah rakyat. Hal ini merupakan penjajahan terhadap bangsa dan rakyatnya sendiri. 

Pemerintah sepertinya ahistoris, lupa bahwa politik domein verklaring sudah dihapuskan seiring dengan lahirnya konstitusi dasar kita. Khususnya dalam ketentuan Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan secara eksplisit bahwa, “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Makna hak menguasai oleh negara dalam norma ini yang gagal dipahami pemerintah.

Makna Hak Menguasai

Negara dan tanah adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Menurut Notonagoro[1], terdapat tiga macam bentuk hubungan langsung antara negara dan tanah yang mencakup bumi, air, serta ruang angkasa, yakni: Pertama, negara sebagai subyek, yang kita persamakan dengan perseorangan, sehingga hubungan antara negara dan tanah itu mempunyai sifat privat-rechtelik. Hak negara terhadap tanah lantas sama dengan hak perseorangan atas tanah. 

Kedua, negara sebagai subyek, diberi kedudukan tidak sebagai perseorangan, melainkan sebagai badan kenegaraan, sebagai badan yang publiekrechtelijk. Kalau bentuk ini yang diinginkan, negara tidak mempunyai kedudukan yang sama dengan perseorangan. 

Dan ketiga, hubungan antara negara langsung dan tanah ini tak sebagai subyek perseorangan serta tidak dalam kedudukannya sebagai negara yang memiliki, tapi sebagai negara yang menjadi personifikasi tentang rakyat seluruhnya. Dengan demikian, dalam konsepsi ini, negara tidak lepas dari rakyat; negara hanya menjadi pendiri, menjadi pendukung kesatuan-kesatuan rakyat.

Lantas pilihan bentuk yang mana di antara ketiganya yang relevan dengan kondisi Indonesia? Menurut Notonagoro, pilihan bentuk yang ketigalah yang tepat. Negara sebagai personifikasi rakyat bersama. Kalau hal ini kita tinjau dari sudut faktor perikemanusiaan, kiranya tepat karena bentuk ini sesuai dengan sifat makhluk sosial sekaligus dengan sifat perseorangan yang merupakan kesatuan dengan sifat individu. Dengan begitu, negara sebagai penjelmaan organisasi makhluk sosial tidak dilepaskan dari perseorangan, dari manusianya sebagai individu[2]

Pendapat ini ditegaskan oleh Iman Soetiknjo[3] yang mengatakan bahwa negara pada dasarnya adalah subyek dalam arti sebagai personifikasi rakyat seluruhnya, jadi bukan sebagai perorangan atau badan kenegaraan. Dalam konsepsi ini, negara tidak lepas dari rakyatnya. Dengan demikian, apa pun tindakan negara haruslah bentuk perwujudan dari personifikasi rakyatnya, bukan justru mewakili kepentingan para investor.

Tujuan Kemakmuran Rakyat

Hak menguasai oleh negara harus diarahkan untuk pencapaian tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ibarat dua sisi mata uang, keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Menurut Bagir Manan[4], ketentuan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 harus dimaknai dengan dua aspek kaidah yang terkandung di dalamnya, yaitu kaidah “hak menguasai oleh negara” dan kaidah “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Keduanya tidak bisa dipisah karena merupakan satu kesatuan sistemis.  

“Hak menguasai oleh negara” merupakan instrumen, sedangkan “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” merupakan tujuan. Lebih lanjut, menurut Manan, keterkaitan keduanya menimbulkan kewajiban negara, yakni pertama, pemanfaatannya harus secara nyata dapat meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Kedua, melindungi dan menjamin segala hak rakyat agar dapat dinikmati langsung oleh rakyat. Dan ketiga, mencegah segala tindakan dari pihak mana pun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan akses[5]

Dengan demikian, keputusan-keputusan pemerintah dalam pengelolaan dan pemanfaatan bumi, air, dan seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya haruslah berorientasi pada kemakmuran rakyat, bukan kesejahteraan para pemodal. Pemerintah haruslah menjadi kaki tangan rakyat, bukan boneka para investor. 

Ukuran penilaian terhadap makna sebesar-sebesar kemakmuran rakyat ini juga tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010. Dalam putusan itu, MK menjelaskan empat unsur yang digunakan sebagai tolok ukur dalam menguji makna penguasaan negara. Keempat unsur itu adalah kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat, tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, dan penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam[6]

Demikianlah kekeliruan pemerintah terhadap makna hak menguasai oleh negara yang harus diluruskan. Jangan sampai penjajahan negara terhadap bangsa dan rakyatnya sendiri terus berlanjut.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Catatan:

[1] Notonagoro. 1984. Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia. Jakarta: PT Bina Aksara. Hlm. 101.
[2] Ibid, hlm. 103.
[3] Iman Soetiknjo. 1994. Politik Agraria Nasional. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hlm. 20.
[4] Ida Nurlinda. 2008. Penerapan Prinsip-prinsip Pembaruan Agraria Menurut Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Kebijakan Pertanahan Nasional. Disertasi Universitas Gadjah Mada, hlm. 87.
[5] Ibid, hlm. 89.
[6] Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 3/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, hlm. 161.

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus