PADA tanggal 27 dan 28 Pebruari yang lalu, Harvard University
menyelenggarakan sebuah seminar dalam rangka John Diebold
Lectures, dengan tema New challenges to the role of profit. Ada
empat rangkaian ceramah, masing-masing dengan tema The role of
profits in a moved economy dengan pembicara utama Paul A.
Samuelson, Why profits are challenged dengan pembicara utama
Kenneth J. Arrow (kedua orang ini adalah pemenang-pemenang
hadiah Nobel), Provits and Capital formation in father economic
systems dengan Erick lundberg dari Stockholm School of Economics
dan The future of the market system. Yang terakhir ini tidak ada
pembicara utamanya, masing-masing panelis diberi kesempatan yang
sama untuk mengemukakan ide-idenya secara singkat.
Di samping pembicara utama, pada tiap-tiap panel, ada tiga
pembicara lain, yang tidak saja diambil dari dunia akademi, tapi
juga dari kalangan usaha, misalnya direktur bank, direktur
sebuah pabrik kertas, orang dari sebuah kantor akuntan yang
ternama dan sebagainya. Begitulah, kita memperoleh nama-nama
seperti Eli Shapiro (Travelers Insurance Companies), Peter Temin
(MIT), Arthur W. Harri.(International Paper Company), C. Lowell
Hariss (Columbia University), Abram Bergson (Harvard
University), Guido Carli (bekas gubernur Bank Sentral Italia),
Diether H. Hoffman (Bank fur Gemeinwirtschaft), McGeorge Bundy
(Presiden Ford Foundation), D. Quinn Mills (Harvad Business
Scholl) dan beberapa lainnya lagi.
Masalah laba atau profit dipersoalkan di sini karena di Amerika
yang menganut sistim ekonomi kapitalis timbul ketidak-puasan
yang makin meluas. Keadilan sosial dan ekonomi, setelah duaratus
tahun merdeka, masih belum merata. Munculnya RRC dengan sistim
ekonomi sosialis yang mengutamakan perataan pendapatan dan bukan
pengumpulan modal merupakan tantangan yang kuat bagi
pemikir-pemikir ekonomi di sini, terutama di kalangan
pemikir-pemikir muda.
Persaingan Tak Terjadi
Sistim laba yang dikaitkan dengan sistim persaingan bebas dan
hak untuk menikmati laba ini secara pribadi, menjelmakan dirinya
dan bertarung di dalam sistim pasaran bebas. Masalah yang ada
pada dasanya ialah pertentangan antara efisiensi dan keadilan
sosial. Laba sebagai perangsang membuat orang bekerja lebih
keras supaya menang dalam persaingan. Pengusaha yang tidak
efisien akan jatuh, yang efisien akan maju. Kalau mekanisme
ekonomi dilepaskan secara bebas ke dalam sistim ini, maka
menurut Adam Smith, ada sebuah tangan ajaib yang akan mengatur
mekanisme harga yang akan mencegah orang yang serakah untuk
mencapai keuntungan yang sebanyak-banyaknya dengan menaikkan
harga barangnya setinggi mungkin.
Tapi, sistim laba juga menciptakan ketidak-adilan sosial. Yang
kuat akan menjadi makin kuat, yang lemah akan tertinggal
dibawah. Pada titik ini, mungkin seseorang akan berkata, tapi
ini 'kan sesuai dngan hukum alam, bahwa yang kuat akan
nendapatkan lebih dari pada yang lemah. Karena itu, ini cukup
adil. Tapi dalam kenyataannya, apa yang disebut persaingan bebas
itu tidak terjadi. Di sini kita harus beralih kepada masalah
yang oleh para penganut teori-teori ekonomi klasik kurang
diperhatikan, yakni hubungan sosial dari faktor faktor produksi.
Ahli-ahli ekonomi klasik dan neo-klasik hanya memperhatikan
aspek material dari faktor-faktor produksi, yakni mengenai
komoditi dan sistim harga atau peran uang di dalam interaksi
faktor-faktor ini. Faktor manusia kurang diperhatikan, manusia
berperan pasif saja. Manusia hanyalah sistim kebutuhan dan
dianggap saja bahwa manusia akan bermain secara jujur dalam
usaha memenuhi kebutuhan ini.
Kenyataannya tidaklah begitu. Pengusaha-pengusaha yang kuat
dalam sistim pasaran bebas ini akan menggunakan segala macam
cara untuk mempertahankan posisinya yang menguntungkan -- dari
cara ekonomi (persekutuan antara beberapa pengusaha kuat untuk
memukul yang lemah jadi tidak bersaing bebas lagi) sampai kepada
cara-cara di luar ekonomi (berusaha bergabung dengan
kekuatan-kekuatan politik atau penguasa untuk mendapatkan
fasilitas-fasilitas yang membuat saingannya menjadi lebih lemah
atau tidak berdaya samasekali). Persaingan bebas di dalam sistim
pasaran bebas hanyalah suatu mitos belaka.
Untuk memecahkan masalah ini, maka negara-negara Barat lalu
mengembangkan sistim ekonomi campuran. Penguasah atau pemerintah
mulai mencampuri urusan pasaran bebas ini -- untuk mencegah
monopoli dari pengusaha-pengusaha kuat, untuk mengambil sebagian
keuntungan dari pengusaha-pengusaha yang kaya untuk kemudian
dibagikan kepada orang-orang yang lemah supaya mereka mempunyai
kesempatan untuk mengembangkan dirinya. Kritik terhadap sistim
ini tentu saja mengatakan, bahwa asumsi dasarnya salah. Yakni
seakan-akan antara penguasa dan pengusaha ada perbedaan tujuan,
yang satu memikirkan orang banyak yang lain memikirkan dirinya
sendiri. Sampai batas tertentu memang. Tapi pada dasarnya tidak.
Kritik ini memang bukan sesuatu yang mustahil, karena bila kita
lihat Amerika sekarang, tampak jelas bahwa kendaraan-kendaraan
umum seperti bis dan kereta api sangat lemah, akibat kuatnya
industri mobil. Orang juga berkata di sini bahwa penelitian
untuk memakai tenaga matahari dan atom kurang berkembang, karena
para pengusaha-pengusaha minyak menghalang-halanginya.
Persoalan lain ialah pertanyaan, kalau keuntungan usaha
merupakan perkawinan antara modal dan tenaga kerja mengapa porsi
keuntungan lebih banyak pergi kepada modal daripula tenaga
kerja. Para panelis dalam seminar ini berpendapat karena adanya
faktor risiko -- penanam modal bisa kehilangan modalnya bila
usahanya, rugi. Tapi dalam dunia usaha modern, faktor risiko ini
sangat kecil, berkat penelitian yang saksama sebelumnya. Tapi
tetap saja para pemilik modal, tanpa kerja, menerima lebih
banyak dari pada orang-orang yang menjual kerjanya. Bahwa modal
dianggap lebih penting daripada kerja, merupakan suatu keputusan
politik,' bukan sesuatu yang wajar. Di dalam keputusan ini,
terdapat faktor eksploitasi manusia oleh modal. Dalam kata-kata
Arrow: "Bagaimana mungkin seorang Rockefeler pada abad ke-l9
mengumpulkan uang sebanyak satu milyard dolar hanya dari
kerjanya sendiri dan rajinnya menabung?"
Persoalan-persoalan ini menarik. Karena kalau kita proyeksikan
ke dalam kerangka ekonomi dunia (yang sayangnya tidak dilakukan
di seminar ini), maka sebagai warga dari negara yang taraf
ekonominya masih rendah, saya merasakan ketidak-adilan itu.
Ekonomi dunia -- adalah suatu pasaran bebas yang besar. Hanya
negura-negara kuat yang bisa bersaing di sini. Mereka bahkan
tidak bersaing, tapi bergabung supaya lebih kuat, misalnya
persekutuan seperti yang terjadi pada MEE (Masyarakat Ekonomi
Eropa). Negara-negara miskin hanya bisa "ikut serta" ke dalam
pasafan dunia ini melalui perantaraan negara-negara besar.
Negara-negara miskin jadi tergantung kepada negara-negara besar.
Dan menghilangkan ketergantungan ini merupakan sesuatu yang
mustahil dalam struktur dan sistim ekonomi dunia yang sekarang.
Sampai batas-batas tertentu dapat dikatakan, seperti halnya
Rockefeler pada abad ke-19, kekayaan negara-negara besar
sekarang merupakan hasil eksploitasi terhadap negara-negara
miskin. Karena itu Amerika, misalnya berusaha sekuat tenaga
untuk menggulingkan rezim Alliande di Chilli. Saya kira bukan
saja karena alasan politik Allende = komunis), tapi karena
alasan-alasan ekonomi juga (Allende mengembangkan sistim
ekonomi yang nasionalistis yang menutup kesempatan untuk
negara-negara asing beroperasi secara berarti di dalamnya) Tidak
usah jadi komunis untuk bisa berkata bahwa neo-imperialisme
belum mati.
Seminar ini tidak menyimpulkan apa-apa, tapi dia merangsang kita
berfikir lebih lanjut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini