Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JUMLAH jemaah umrah dari Indonesia terus bertambah dan puncaknya terjadi pada Ramadan. Penutupan kota suci Mekah dan Madinah pada masa pandemi Covid-19 selama dua musim haji berturut-turut menjadi faktor utama kenaikan tersebut. Namun pembatasan kuota haji merupakan faktor lain yang paling masuk akal. Dua faktor itu menyebabkan masa tunggu giliran berhaji makin panjang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi mencatat, pada 2023, anggota jemaah umrah dari seluruh dunia berjumlah 13,55 juta, naik sekitar 5 juta jiwa dari 2019. Bahkan, pada awal Ramadan 2024, dilaporkan 1,5 juta anggota jemaah umrah mendarat di Arab Saudi. Jemaah umrah dari Indonesia menempati posisi paling atas dengan jumlah terbanyak, disusul Pakistan, India, dan Mesir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama, pada tahun lalu, rata-rata per bulan jumlah anggota jemaah umrah Indonesia sekitar 110 ribu jiwa. Jumlah ini setara dengan separuh jumlah anggota jemaah haji reguler pada tahun yang sama sebanyak 203 ribu jiwa.
Di luar isu keterpanggilan, ada sejumlah faktor pendorong terus bertambahnya peminat umrah. Faktor itu di antaranya peningkatan jumlah kelompok lanjut usia, kenaikan tingkat pendapatan kelas menengah, akses ke sumber-sumber pembiayaan seperti kredit makin mudah, serta maraknya pelepasan aset tanah untuk pembangunan pabrik, perumahan, jalan tol, pelabuhan, dan pemekaran wilayah, yang berpengaruh pada kenaikan sumber daya baru serta pendapatan.
Menjelang Ramadan tahun ini, saya berkesempatan mengikuti umrah melalui sebuah biro perjalanan yang berpengalaman lebih dari dua dekade. Biro ini setiap minggu memberangkatkan ratusan anggota jemaah umrah dari beberapa titik embarkasi, bukan hanya Jakarta. Dalam rombongan saya terdapat 183 anggota jemaah, yang 60 persen di antaranya belum pernah berhaji dan separuh dari mereka perempuan lansia.
Lonjakan jumlah peminat umrah ini sangatlah perlu diantisipasi pemerintah, melampaui hal-hal yang selama ini mereka urusi pada musim haji. Sejauh ini, Dirjen PHU melimpahkan wewenangnya dalam penyelenggaraan umrah kepada pihak swasta. Dengan kata lain, tanggung jawab penyelenggaraan umrah secara de facto sepenuhnya dalam kendali pihak swasta di bawah pengawasan negara.
Sebetulnya, gagasan dan tuntutan atas keterlibatan pihak swasta dalam pengelolaan haji dan umrah dianggap sebagai "power sharing” yang sehat dan baik guna melucuti dominasi serta monopoli negara. Sebab, meskipun diawasi Dewan Perwakilan Rakyat dan masyarakat tanpa ada keseimbangan pengelolaan, kekuasaan tunggal negara ditengarai dapat membuka celah kesewenang-wenangan. Apalagi hal ini terkait dengan pelaksanaan ibadah yang gampang dipakai untuk meminta permakluman agar jemaah sabar, pasrah, dan tawakal jika ada hal-hal yang tak sepatutnya terjadi.
Hadirnya pihak swasta menjadi kabar baik bagi umat Islam yang hendak berhaji atau umrah. Dengan kehadiran pihak swasta, umat Islam punya pilihan untuk mendapat layanan sesuai dengan kesanggupan: ada harga, ada rupa. Namun melepaskan secara de facto urusan umrah kepada pihak swasta hanya akan menghasilkan hukum yang sama, yaitu monopoli. Tanpa ada kekuatan penyeimbang melalui kehadiran negara, pada akhirnya nasib jemaah umrah akan sangat bergantung pada kemampuan manajerial biro perjalanan.
Dalam konteks ini, kehadiran negara menjadi keniscayaan. Pertama, secara hukum, negara wajib melindungi warganya, termasuk ketika mereka sedang berada di luar negeri. Kedua, jumlah jemaah umrah terus naik dan mereka punya beragam latar belakang. Ketiga, pihak swasta, betapa pun hebatnya, memiliki keterbatasan kesanggupan dalam melayani jemaah, terutama perihal hubungan bilateral antarnegara.
Celah Kerawanan Umrah
Ada beberapa celah kerawanan dalam pelaksanaan umrah dan karena itulah negara wajib hadir. Celah-celah itu antara lain soal keragaman kebutuhan layanan jemaah berdasarkan perbedaan latar belakang suku/etnisitas, gender, umur, dan keadaan fisik. Banyak anggota jemaah lansia perempuan atau orang dengan disabilitas tak mendapat informasi memadai dan khas sesuai dengan kebutuhan mereka.
Kondisi ini terjadi antara lain karena penyeragaman layanan dan informasi yang cenderung bias gender, bias non-disabilitas, bias orang dewasa, serta bias kota. Padahal sejumlah kementerian dan lembaga, bukan hanya Kementerian Agama, memiliki program dan praktik pendampingan terhadap kelompok-kelompok rentan, seperti lansia; perempuan yang sedang bereproduksi aktif, terutama ibu hamil dan menyusui; orang dengan disabilitas; serta anak-anak.
Pelibatan lembaga-lembaga yang memiliki keahlian khusus itu sesungguhnya dapat meringankan beban pihak swasta dalam mendampingi jemaah umrah, termasuk dalam hal pembiayaan. Kebutuhan layanan yang responsif gender, disabilitas, dan inklusi sosial tak perlu menarik biaya tambahan dari jemaah, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab negara melalui anggaran kementerian dan lembaga sebagai para pihak.
Celah lain adalah soal hukum. Beberapa waktu lalu, seorang anggota jemaah lelaki dituntut di pengadilan karena dituduh melakukan pelecehan seksual. Dalam arena yang padat pengunjung dengan latar belakang budaya berbeda-beda, hal ini dapat menjadi wilayah abu-abu. Hal serupa itu tidak bisa dianggap sebagai nasib sial yang tak dapat diantisipasi. Masuknya peran negara dalam bentuk pemberian informasi yang responsif ihwal keragaman pasti akan sangat membantu sekaligus membuktikan kehadiran negara.
Soal lain yang membuat jemaah atau calon jemaah tak berdaya adalah manipulasi itinerary penerbangan, seperti perbedaan maskapai dan rute yang ditawarkan. Kerap terdengar kisah jemaah umrah yang telantar, hanya sampai Turki, atau bahkan hanya sampai di bandar udara keberangkatan. Demikian halnya dengan penyelewengan layanan penginapan dengan alasan hotel penuh. Persoalan akomodasi ini berimplikasi pada jarak tempuh dari hotel ke tempat ibadah serta rentetan implikasi lain akibat perubahan-perubahan itu.
Pelindungan bagi Warga Negara
Jemaah haji dan umrah Indonesia datang dari berbagai wilayah di Nusantara dengan latar belakang pengetahuan serta pengalamannya. Salah satu persoalan yang kerap terjadi adalah jemaah tersesat di Masjid Haram, Mekah, atau di Masjid Nabawi, Madinah. Meskipun mereka datang sebagai rombongan dan dipandu para mutawif, dengan mudah mereka bisa terlepas dari rombongan karena terseret lautan manusia, terutama dalam ritual tawaf di Ka'bah atau ketika sai dari Safa ke Marwa.
Kejadian semacam itu bukan kabar burung. Coba saja perhatikan sejumlah tayangan di YouTube yang mengisahkan jemaah Indonesia tersesat dan terlunta-lunta, bahkan hingga berhari-hari. Alasannya bermacam-macam: tidak mampu berkomunikasi, tak tahu alamat dan nama penginapan karena buta aksara, kartu identitas hilang, tidak punya kecakapan menggunakan media komunikasi, dan seterusnya.
Dalam beberapa kasus, hal ini juga berhubungan dengan manipulasi lokasi hotel, yang mengakibatkan perbedaan nama hotel/alamat yang ditulis di kartu identitas jemaah dengan alamat hotel yang sebenarnya. Dari sisi keamanan, tersesatnya jemaah patut diwaspadai dengan segala kemungkinannya, seperti terseret kelompok radikal atau terorisme.
Karena itu, pos-pos bantuan informasi untuk jemaah umrah seharusnya disediakan negara dan tak hanya mengandalkan kebaikan relawan yang bermukim di Arab Saudi. Saya rindu bendera Merah Putih berkibar di sekitar Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, tidak hanya terbatas pada musim haji di bulan Zulhijah, tapi juga sepanjang musim umrah. Dalam kata lain, negara sudah seharusnya hadir tanpa harus menambah beban biaya kepada jemaah, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab negara kepada warganya.
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.