Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Perang Mataraman

2 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Parsudi Suparlan
Antropolog UI

YANG dimaksud dalam judul di atas bukanlah perang cara Mataram, melainkan tawuran antarkelompok pemuda di Matraman yang sudah menahun. Perkelahian seperti ini sebenarnya juga terjadi di Bukitduri dan Manggarai. Cuma, bedanya, dua lurah di Matraman sampai dicopot dari jabatannya oleh Gubernur DKI Jakarta karena dianggap tidak mampu meredam semangat perang warganya. Hal ini patut disesalkan karena permasalahan perang Matraman tersebut tidak terletak di tangan Pak Lurah. Apalagi, lurah dan aparatnya tidak pernah dibekali pengetahuan mengenai upaya-upaya mengatasi kemiskinan warga, pengangguran, serta penyaluran energi para remaja dan pemuda yang drop-out sekolah atau penganggur.

Apa yang mencolok secara demografi dari para pemuda prajurit perang mataraman adalah mereka itu berasal dari keluarga miskin, yang hidup di permukiman padat dan sumpek, dan rata-rata drop-out sekolah, penganggur, atau penganggur terselubung. Maka, terbentuklah sebuah pola yang umum berlaku pada anak-anak keluarga miskin dan terpuruk di mana pun di dunia ini. Mereka akan cenderung hidup dalam geng anak remaja atau pemuda. Mereka menghabiskan waktu dengan mengobrol di antara sesama, bermain kartu atau permainan kompetitif lainnya, dan begadang pada malam hari, yang biasanya juga disertai dengan minum minuman beralkohol sampai teler.

Kegiatan begadang dalam kelompok itu telah menghasilkan kohesi sosial yang tinggi di antara sesama mereka, bahkan—kalau menggunakan model Emile Durkheim dalam melihat kehidupan remaja golongan ini—akan cenderung menghasilkan solidaritas kelompok yang mengalahkan representasi individual mereka. Melalui representasi kelompok ini, berbagai bentuk frustrasi dan harga diri yang tercabik-cabik karena kemiskinan itu menjadi hilang. Mereka mengagung-agungkan keperkasaan fisik atau kekerasan karena itulah modal satu-satunya yang masih mereka punyai. Mereka memuja-muja tokoh-tokoh yang secara fisik perkasa, sebagaimana mereka lihat di film-film yang ditayangkan televisi. Tokoh utama dalam film serial Highlander, misalnya, adalah salah satu tokoh pujaan anak-anak muda di Manggarai.

Dalam geng yang kemudian menjadi padat kohesi sosial dari emosi tersebut, hierarki juga terwujud. Yang biasanya menjadi pemimpin adalah yang secara fisik lebih kuat dan ini umumnya ditentukan oleh usia yang lebih tua. Usia lebih tua ini biasanya ditandai dengan lebih berpengalamannya mereka dalam perkelahian atau perang mataraman, dalam hal memalak, dan dalam urusan cewek.

Konflik yang terjadi antar-individu anggota geng bisa terjadi. Penyebabnya bisa salah satu pihak mencari gara-gara, berebut cewek, merasa direndahkan martabatnya, balas dendam setelah kalah dalam persaingan atau perkelahian, atau memperebutkan wilayah sumber rezeki. Konflik antar-individu ini dengan mudah memicu terjadinya perkelahian antarkelompok atau geng pemuda. Dan konflik antarkelompok pemuda ini dengan mudah pula memicu perang mataraman yang melibatkan sejumlah kolompok pemuda dengan sejumlah kelompok pemuda lainnya.

Kalau sudah terjadi perang mataraman, generasi yang lebih tua, termasuk orang-orang tua, akan membantu para prajurit mataraman ini. Bentuknya berupa bantuan moral dan perlindungan fisik bila mereka dikejar pihak lawan. Dalam perang mataraman yang terjadi beberapa tahun lalu di Manggarai, yang menjadi prajurit mataraman ini bukan hanya laki-laki, tapi juga perempuan. Tidak ada diskriminasi gender.

Yang menarik dari perang mataraman ini, cara-cara mereka berperang mirip dengan perang antarkelompok klen (atau perang suku) di antara orang Dani yang hidup di Lembah Baliem, Pegunungan Jayawijaya, Papua. Kedua belah pihak yang sedang berperang di Manggarai maju dengan ditonton oleh saudara-saudara dan orang-orang yang lebih tua yang memberikan semangat. Bila korban jatuh, mereka akan mundur dan menangisi si korban, beristirahat sebentar, lalu berperang lagi. Bisa beberapa kali maju-mundur sampai mereka lelah sendiri atau salah satu pihak merasa bahwa korban sudah seimbang. Mereka lalu beristirahat untuk waktu yang relatif lama, merawat yang luka-luka atau meninggal dunia, serta memperbaiki rumah atau harta benda yang dihancurkan pihak lawan. Bila ada yang memicu terjadinya konflik, perang mataraman berlangsung lagi.

Lalu, apa yang patut dilakukan untuk mencegah perang mataraman ini? Jawabannya tidak sesederhana dengan cara mencopot lurah karena permasalahannya adalah permasalahan kebudayaan kemiskinan. Kebudayaan kemiskinan inilah yang harus dikikis dengan membabat berbagai faktor yang memunculkan keberadaan kebudayaan tersebut. Di antaranya adalah masalah drop-out anak sekolah dan pengangguran, baik yang dipecat maupun yang sudah tidak mampu lagi bersekolah. Mereka itu seharusnya diberi pekerjaan atau disekolahkan lagi. Di samping itu, upaya peningkatan kesejahteraan warga miskin juga patut dilakukan. Itu bukan dengan cara membagi-bagikan makanan atau pakaian, tapi dengan memberikan kursus-kursus keterampilan sesuai dengan jenis pekerjaan mereka, sehingga mereka dapat berproduksi lebih baik dan, karena itu, memperoleh pendapatan yang layak. Permukiman mereka juga harus ditata kembali secara lebih baik dengan menyediakan tempat bermain dan berolahraga secara memadai.

Cara yang sederhana adalah berbicara dengan para remaja dan pemuda yang bersangkutan agar bisa memahami kehidupan mereka. Juga berbicara dengan abang-abang mereka mengenai berbagai permasalahan sosial di masyarakat, termasuk masalah perang mataraman dengan berbagai implikasinya. Cara yang lebih canggih adalah menyewa ahli antropologi atau ilmu-ilmu sosial untuk melakukan penelitian, yang hasilnya dapat digunakan untuk kepentingan praktis dalam menanggulangi masalah perang mataraman dan berbagai bentuk kekerasan lainnya. Hanya, belum jelas apakah rekomendasi hasil-hasil penelitian tersebut akan betul-betul digunakan oleh para pejabat yang bersangkutan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat yang warganya miskin dan selalu dalam keadaan siap siaga untuk perang mataraman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum