Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
H.S. Dillon
Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
SEJAK 1970-an hingga saat ini, lebih dari 20 komisi kebenaran telah terbentuk di berbagai negara. Komisi ini bertujuan untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berkonflik sehingga tercapai rekonsiliasi nasional. Ini bukan pekerjaan mudah. Di Afrika Selatan, misalnya, sampai saat ini proses restitusi ataupun reparasi dalam pemulihan harkat dan martabat korban pelanggaran hak asasi manusia masih belum rampung. Pertikaian kekerasan masih sering terjadi, malah mulai bergeser ke arena pertikaian kriminal murni. Peningkatan kesejahteraan para korban pelanggaran hak asasi manusia belum jelas. Yang lebih memprihatinkan lagi, struktur sosial dan ekonomi ideologi Apartheid pun belum mengalami perubahan yang mendasar.
Berdasarkan pengamatan saya, kesukaran-kesukaran yang dialami TRC di bekas negara Apartheid ini tidak terlepas dari proses transisi yang terjadi di negara itu, ataupun proses terbentuknya TRC itu sendiri. Jelaslah bahwa sukses transisi dari era diskriminasi menuju era demokrasi konstitusional bukan jatuh dari langit. Pasti ada faktor internal dan eksternal yang turut mempengaruhi proses tersebut. Kehadiran figur seperti Nelson Mandela dan Desmond Tutu tidak dapat dimungkiri merupakan salah satu faktor internal paling berpengaruh. Di samping itu, adanya tekanan-tekanan baik melalui embargo ekonomi maupun pemboikotan yang dilakukan oleh para pemegang saham MNC atas desakan LSM internasional merupakan kontribusi faktor eksternal yang tidak dapat diabaikan dalam menekan rezim Apartheid. Adanya embargo ekonomi dan pemboikotan para pemegang saham MNC mancanegara dalam beroperasi di Afrika Selatan rupanya telah membuat kalangan pengusaha kulit putih rezim Apartheid merasa terancam. Padahal, saat itu angin perubahan sudah mulai menerpa dan tidak dapat dibendung. Situasi inilah yang melatari kelas menengah ini kemudian memprakarsai diadakannya referendum khusus bagi kalangan masyarakat kulit putih untuk menentukan masa depan politik Apartheid di negeri itu. Pembangkangan ini jelas merupakan pukulan yang berat bagi pemerintahan Apartheid karena bagi pemerintahan di mana pun, kelas menengah merupakan penyangga utama bagi kemapanan kekuasaannya. Alhasil, rezim Apartheid terpaksa menerima prakarsa itu sekaligus harus menerima kekalahannya. Puncaknya, keajaiban politik pun datang dari hasil pemilihan umum tahun 1994. African National Congress pimpinan Nelson Mandela memperoleh suara 62,7 persen, sedangkan partai politik kulit putih seperti National Party, Freedom Front, dan Democratic Party masing-masing hanya memperoleh suara 20,4 persen, 2,2 persen, dan 1,1 persen. Yang menarik buat saya adalah hasil polling yang dilakukan tiga tahun setelah pemilu 1994. Ternyata, para pemilih tidak mengalami pergeseran secara signifikan. African National Congress hanya didukung sekitar 4 persen dari kalangan masyarakat kulit putih. Sebaliknya, dukungan masyarakat kulit hitam pada partai politik kulit putih pun kurang dari 3 persen. Bagi saya, meskipun tidak mutlak, hasil polling itu merefleksikan realitas sosial-politik yang masih kaku, sekaligus jawaban atas kesukaran-kesukaran proses rekonsiliasi yang dialami TRC selama ini. Itu berarti sebagian besar masyarakat kulit putih masih pro-status quo, walaupun secara keseluruhan keberadaan mereka minoritas. Hal lain yang mempersulit proses rekonsiliasi adalah adanya beberapa syarat yang diajukan rezim Apartheid, seperti permohonan amnesti atas dosa-dosa masa lalu, di samping permintaan "sunset clause" supaya pejabat-pejabat rezim Apartheid tidak diganti dulu selama 5 tahun setelah masa peralihan kekuasaan. Ancient regime (pengusaha kulit putih dan para pejabat) ini pun, dengan didukung oleh IMF, menolak usulan land reform yang diajukan pemerintahan baru Afrika Selatan. Karena itu, tidaklah mengherankan bila sampai saat ini masih sekitar 87 persen lahan pertanian dikuasai oleh para pengusaha kulit putih. Situasi inilah kemudian yang membuat bangunan struktur sosial dan ekonomi ideologi Apartheid tidak pernah mengalami perubahan yang fundamental. Salah seorang anggota TRC Afrika Selatan pernah mengungkapkan kegalauan batinnya kepada saya, "Ketika makan steik, hanya para politisi dan konglomerat yang menikmati. Saat menyembelih sapi, kamilah yang terkena percikan darahnya." Seorang pejuang anti-Apartheid dan rasisme, Patrick Van Rensburg, pun pernah mengatakan, "Tidaklah mungkin kami menghendaki sebentuk kapitalisme yang lebih lunak di Afrika Selatan yang bebas dari rasisme. Sebab, dalam perwujudan kapitalisme, rasisme itu melekat padanya. Seluruh sistem pekerja migran dibangun atas dasar penghisapan manusia. Diciptakannya apa yang disebut "wilayah-wilayah sendiri" itu adalah karena kebutuhan tambang-tambang ataupun tanah-tanah pertanian untuk mendapatkan buruh murah yang tergantung pada belas kasihan majikan, tanpa kewajiban untuk memberi makan istri, anak-anak, dan orang tua buruh-buruh itu." Dalam menanggapi pandangan Rensburg ini, Jeremy Seabrook mengatakan, ketidakadilan yang dilembagakan merupakan instrumen yang lebih pedas daripada rasisme yang dilembagakan! Karena itu, saya berpandangan, jika ancient regime ini terus menimbulkan kesukaran di dalam proses rekonsiliasi di Afrika Selatan, jangan terkejut bila pengalaman Zimbabwe bakal terjadi di sana. Saya berkesimpulan bahwa tidak akan ada rekonsiliasi bila keadilan tak sungguh-sungguh ditegakkan di segenap matra kehidupan rakyat. Tegaknya keadilan inilah yang menjadi roh-nya rekonsiliasi nasional. Dalam konteks Indonesia, jika kita hendak menjamin tegaknya keadilan secara nyata, di samping masalah-masalah pengungkapan kebenaran, restitusi, reparasi, rehabilitasi, dan amnesti, kebutuhan akan hadirnya sebuah format pembangunan alternatif dan transformatif yang bermuatan keadilan di semua matra kehidupan rakyat merupakan landasan utama bagi terwujudnya rekonsiliasi nasional. Proses pembangunan ini haruslah bermakna penjebolan sekat-sekat ketidakadilan struktural dan perbaikan pola dasar hubungan ekonomi dalam kehidupan buruh-majikan, petani-tuan tanah, pertanian-industri, UKM-konglomerat, Jawa-luar Jawa, pusat-daerah. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |