Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SITI Aisyah menambah panjang daftar buram perempuan Indonesia yang diperalat orang asing untuk kegiatan kejahatan. Setelah ratusan wanita direkrut jaringan narkotik internasional sebagai kurir antarnegara, Siti Aisyah menyusul masuk perangkap sekelompok warga negara Korea Utara yang ditengarai menjalankan operasi intelijen di Kuala Lumpur, Malaysia.
Perempuan 25 tahun yang hanya lulus sekolah dasar itu menjadi tersangka pembunuhan Kim Jong-nam, abang tiri Presiden Korea Utara Kim Jong-un, di Bandar Udara Internasional Kuala Lumpur 2. Dia ditangkap karena diduga membalurkan racun ke wajah Jong-nam, bersama Doan Thi Huong, perempuan warga Vietnam.
Dalam sidang pembacaan dakwaan yang digelar pada 1 Maret lalu di Mahkamah Rendah (Magistrate Court) Sepang, Selangor, jaksa menyatakan Siti Aisyah dan Doan melakukan pembunuhan secara bersama-sama, yang melanggar Pasal 302 dan 34 Undang-Undang Pidana Nomor 574. Jika tuduhan itu terbukti di pengadilan, hidup mereka akan berakhir di tiang gantungan.
Pembunuhan Kim Jong-nam jelas bukan pembunuhan biasa. Keterlibatan sejumlah diplomat dan orang Korea Utara membuat operasi ini jadi pembunuhan politik. Kendati menyangkal, Korea Utara layak dikutuk karena menggelar operasi intelijen melenyapkan lawan politik penguasanya di negara orang.
Pemerintah Indonesia seyogianya memberikan pembelaan maksimal terhadap Siti. Membuka tabir bahwa ia semata korban sebuah operasi intelijen yang dirancang secara rapi mesti menjadi prioritas Kementerian Luar Negeri dan kuasa hukum yang ditunjuk di Malaysia. Ruang gelap yang membekap kasus ini dibuka dengan bukti-bukti terang guna meringankan Siti di depan majelis hakim.
Dari rangkaian peristiwanya, tidak sulit menyebutkan Siti sebagai orang yang direkrut lewat jebakan aktor intelektual di belakang rencana pembunuhan tersebut. Bekerja sebagai terapis di Ningo Spa, Siti memang sudah diincar untuk bergabung dengan iming-iming sejumlah uang dan merintis karier sebagai artis yang bakal sering muncul di televisi.
Petunjuk paling kuat menegaskan Siti diperdaya dengan ikut latihan pengambilan gambar program televisi reality show (prank). Investigasi majalah ini menemukan, sebelum eksekusi yang menyebabkan Kim Jong-nam tewas akibat racun VX pada 13 Februari lalu, Siti sempat diajak melakukan latihan 12 kali, yaitu sembilan kali di Kuala Lumpur dan tiga kali di Phnom Penh, Kamboja. Pelataran hotel, mal, dan bandara menjadi ajang geladi resik.
Perkenalan yang singkat dengan seorang pria Korea Utara bernama Ri Jo-u alias James, pada 5 Januari 2017, lewat seorang sopir taksi di sebuah kawasan hiburan malam di Kuala Lumpur, bisa menjadi petunjuk keras. Tak lazim perkenalan yang tak sampai satu setengah bulan bisa membuat seseorang seperti Siti menjadi agen. Satu lagi yang tak kalah penting adalah motif pembunuhan. Polisi Malaysia mesti bisa membuktikan kepentingan seorang pemijat dan pekerja malam menghabisi nyawa saudara tiri pemimpin tertinggi Korea Utara.
Bukti berupa rekaman closed-circuit television (CCTV) di sejumlah tempat yang dipakai mesti segera didapatkan agar bisa dihadirkan di muka pengadilan. Selain itu, pengakuan orang-orang yang pernah memperkenalkan Siti dengan James, yang diduga kuat "agen", akan jadi bukti pendukung penting untuk meringankan.
Di luar urusan pembuktian pengadilan, pemerintah Indonesia juga harus memprotes cara pemerintah Malaysia menangani kasus ini. Pembatasan akses wakil Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur untuk bertemu dengan Siti menjadi hal yang tidak sepatutnya dilakukan Polisi Diraja Malaysia. Belum lagi pernyataan Kepala Polisi Diraja Malaysia Tan Sri Khalid Abu Bakar yang terburu-buru memvonis Siti sebagai pelaku pembunuhan berencana, dan mengabaikan dia ditipu lewat acara prank. Langkah itu tidak sepatutnya disampaikan seorang petinggi penegak hukum.
Kita pantas menyesalkan cara pemerintah Malaysia menangani kasus kematian Kim Jong-nam. Mereka seperti terteror dengan ancaman yang dilontarkan pemerintah Korea Utara. Jangankan mengejar empat tersangka yang sudah keburu kabur meninggalkan Malaysia pada hari kejadian, tiga terduga yang bersembunyi di Kedutaan Besar Korea Utara malah dibiarkan melenggang pulang ke negaranya.
Kekalutan pemerintah Malaysia ini bisa menjadi celah meminta keringanan hukuman bagi Siti Aisyah. Majelis hakim yang mengadili Siti mesti diyakinkan bahwa tertuduh itu hanya diperalat dalam kejahatan terencana ini. Upaya perlindungan secara maksimal harus tetap dilakukan agar kelak jangan sampai Siti menjadi "kambing hitam"--menutup kegagalan aparat hukum Malaysia menjerat pelaku utama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo