Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BABAK baru dalam kehidupan demokrasi kita. Esok, anggota Dewan Perwakilan Rakyat akan mengakhiri masa kerja selama lima tahun dalam rapat paripurna yang terakhir. Mereka lalu bubar sebagai wakil rakyat. Awal Oktober 2024, pada Hari Kesaktian Pancasila, para wakil rakyat yang baru menggantikan mereka. Memang tidak semuanya baru. Ada sebagian wajah lama yang masih setia bercokol di gedung parlemen, Senayan, Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apakah para wakil rakyat periode 2019-2024 ini punya prestasi yang bagus? Tergantung siapa yang melihat dan menilainya. Kalau ditanyakan kepada mereka, tentu saja dibilang kerjaan lima tahun itu moncer. Terbukti, mereka menyempatkan diri membahas perlunya memberikan penghargaan kepada diri mereka sendiri. Piagam penghargaan untuk wakil rakyat ini disetujui untuk diberikan kepada mereka dalam sidang paripurna yang sah. Bentuknya berupa pin. Memang bukan terbuat dari emas, tapi piagam ini menyiratkan simbol bahwa kerja mereka bagus. Menarik bahwa mereka menilai diri mereka sendiri, lalu memberikan penghargaan untuk diri mereka pula.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara itu, secara umum masyarakat yang diwakili mereka menyebutkan kinerja anggota DPR periode ini tidaklah baik. Mereka tidak saja tergolong pelit melahirkan undang-undang, tapi undang-undang yang dihasilkan juga bermasalah. Contoh terburuk adalah Undang-Undang tentang Cipta Kerja yang dipaksakan lahir pada 2020. Karena undang-undang ini dinilai tidak melibatkan masyarakat, Mahkamah Konstitusi memutuskan undang-undang itu inkonstitusional bersyarat. DPR bersama pemerintah harus memperbaiki undang-undang itu. Bukannya perbaikan yang dilakukan, pemerintah justru membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang akhirnya disetujui DPR.
Satu lagi contoh yang akibatnya terasa mengganjal saat ini, Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara (IKN). Jakarta sebagai ibu kota negara pindah ke Kalimantan Timur. Namun keputusan presiden tentang itu sampai sekarang tidak ada. Presiden Joko Widodo terkesan tidak mau menerbitkan keppres itu, padahal nafsunya besar untuk pindah segera. Kenapa Jokowi seperti mencla-mencle? Ya, tentu saja, karena jika keppres pemindahan ibu kota itu diterbitkan, ada implikasi yang besar. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 2 ayat 2 menyebutkan: “Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota negara.” Dalam Pasal 3 ayat 2 disebutkan: “Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik presiden dan/atau wakil presiden.” Nah, jelas disebut ibu kota negara. Kalau ibu kota negara sudah pindah ke Kalimantan, tentu MPR bersidang di sana untuk melantik presiden dan wakil presiden. Apakah sudah ada gedung dan fasilitas untuk itu? Atau bersidang di Jakarta yang bukan lagi ibu kota negara dan itu berarti melanggar konstitusi?
Begitulah jika kerja DPR grasah-grusuh dan terlalu mengikuti nafsu Presiden. Apakah DPR wajah baru nanti lebih baik? Harapan untuk itu tampaknya terlalu mewah. Apalagi yang terlihat sekarang ini adalah koalisi yang mendukung pemerintahan Prabowo Subianto amat gemuk. Hanya menyisakan satu partai, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang berada di luar pemerintahan. Itu pun sinyal yang disampaikan Ketua PDI Perjuangan Puan Maharani seperti menyiratkan bahwa partai banteng ini akan merapat ke Prabowo. Disebutkan pertemuan Megawati dengan Prabowo akan segera terlaksana di sebuah tempat yang mengasyikkan. Apakah ini berarti PDI Perjuangan bergabung ke Prabowo?
Jika itu yang terjadi dan semua kekuatan politik berkumpul jadi satu, kita wajar waswas terhadap pemerintahan yang baru. Tidak ada kekuatan penyeimbang. Semua kebijakan pemerintah, termasuk yang tidak bijak, tak ada yang mengoreksi. Parlemen hanya menjadi pematut. Aksi penyeimbang akan dipegang kekuatan lain di luar parlemen dan itu tidak sehat dalam kehidupan demokrasi.
Wakil rakyat kita berwajah baru dalam hitungan hari-hari ini. Dan kita tiba-tiba cemas karena slogan membangun bangsa bersama-sama ternyata punya arti lain: jangan berbeda pendapat dengan penguasa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo