KAMI ingin mengomentari tulisan berjudul, Utang-Piutang - Tagihan Kriminal? (TEMPO, 13 April, Hukum). Asas nulla poena melarang penerapan hukum secara analogi. Bukankah merupakan penerobosan asas itu bila penarik cek kosong dipidana karena penipuan, seperti kasus Trisno Sulistiyono yang dituduh jaksa menipu Marantono? Bila itu bukan penerobosan asas, melainkan interpretasi belaka terhadap sarana tipu muslihat atau rangkaian kebohongan, maka dalam menerapkan hukum pidana kita harus konsisten pula. Sebab, bukankah penerima cek harus dipidana pula, setidak-tidaknya sebagai pelaku peserta atau pelaku penganjur, karena ia telah turut atau memberikan kesempatan kepada penarik cek bersangkutan? Lagi pula, sejak semula penerima telah patut menyangka bahwa cek itu kosong, karena ditarik post-dated. Menipu orang bukan sekadar membujuk, sebagaimana sering kali digunakan dalam mendakwa penipuan, tetapi menggerakkan orang dengan menggunakan sarana-sarana tertentu. Sasarannya seluruh eksistensi manusia, bukan faktor rasa belaka (misalnya membujuk ibu atau pacar). Sehingga bila pada zaman serba maju kini masih ada yang dapat digerakkan menerima cek, yang karena post-dated sejak semula dapat diperkirakan kosong, dipastikan pula bahwa penerimanya bukan digerakkan oleh sarana-sarana itu malah sebaliknya karena didorong kepentingan-kepentingan tertentu. Mengapa penerimanya tidak menggunakan pasal 224 HIR, yang siap pakai melalui permohonan pada ketua pengadilan negeri agar memerintahkan sitaan eksekutorial atas harta benda penarik cek? Bukankah cek itu cash, dan bila ditolak bank dapat ditafsirkan sebagai aksep utang, menurut rasio pasal 224 itu? Dengan demikian, terhindarlah hukuman penjara, yang belum tentu menyelesaikan sengketa utangpiutang atau acara perdata yang bertele-tele. Sementara itu, fungsi sitaan eksekutorial, sebagai sarana memaksa dalam pelaksanaan putusan perdata, terus-menerus ditingkatkan. Ketua tidak akan perlu memerintahkan pelelangan harta miliknya bila pada tingkat itu penarik cek bersedia menguangkannya. Terpeliharalah derap perkembangan hukum selaju perkembangan masyarakat. Bila ketua pengadilan negeri, karena pertimbangan hukum lain, harus menolak permohonan semacam itu, penerima cek dapat saja minta agar penolakan itu dituangkan dalam suatu penetapan, yang pada waktunya dapat dimintakan pemeriksaan pada tingkat kasasi. MONA Surabaya (Alamat lengkap pada Redaksi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini