Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Perlu deregulasi sektor pertanian

Kebijaksanaan bupati jember, jawa timur membuldozer lahan pertanian karena tak menjalankan program tri merupakan bentuk kesenjangan "pasar politis" dengan "pasar ekonomis".

10 September 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiap kali membaca berita tentang petani TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi), hati saya selalu giris. Entah sampai kapan mereka tahan berkorban. Terakhir datang berita dari Jember (TEMPO, 30 Juli 1988 Nasional). Ladang tumpuan hidupnya diobrak-abrik buldozer, gara-gara mereka menolak program TRI. Betapa tidak? TRI bagi para petani, sebenarnya hanyalah persoalan ekonomi. Buntutnya, ternyata, malah mereka harus berurusan dengan Koramil dan Kodim. Sesungguhnya, para petani itu menolak menanam tebu semata-mata hanya karena pertimbangan ekonomis. Satu hektar lahan yang ditanami tebu hanya menghasilkan Rp 1,25 juta. Sedang bila ditanami padi dan kedelai, hasilnya bisa Rp 4,5 juta. Itu yang diperhitungkan para petani Jember. Tetapi bagi Bupati Jember, program TRI adalah suatu keputusan politik yang harus dilaksanakan. Kasus Jember boleh dianggap kecil. Tetapi ia, sebenarnya, mencerminkan persoalan besar. Itu erat hubungannya dengan kebijaksanaan pembangunan itu sendiri. Yakni terdapat gap antara "pasar politis" dan "pasar ekonomis". Para petani yang menolak menanam tebu, dan bersikeras menanam padi merupakan konsep "pasar ekonomis". Sementara itu Bupati dengan target areal tebunya disebut saja konsep "pasar politis". Ada kesenjangan yang lebar antara "pasar politis" dan "pasar ekonomis". Indonesia, seperti halnya negara-negara sedang berkembang lainnya, berusaha membangun industrialisasi dengan dukungan sektor pertanian yang tangguh. Caranya, dengan mentransfer surplus sektor pertanian (melalui pajak, pengendalian harga, suplai tenaga kerja murah, dan bahan baku) untuk membiayai industrialisasi. Strategi itu tidak salah. Sebab, proses yang dilalui negara-negara maju saat ini, sejarahnya juga begitu. Tetapi dalam proses transfer tersebut, prakteknya mengalami berbagai bias yang malah merugikan kedua belah pihak. Sektor pertanian yang surplusnya diekstraksi menjadi kerdil dan sulit berkembang. Sedangkan sektor industri yang diproteksi berkembang tidak normal. Kasus TRI adalah cermin ekstraksi surplus sektor pertanian untuk membiayai industrialisasi, yakni industri gula. Keduanya, ternyata, tidak berkembang. Daya beli petani TRI terus memburuk, karena terpaksa menjalankan usaha tani yang tidak ekonomis. Pengorbanan ini tidak pula sanggup menghidupkan industri gula yang, karena berbagai proteksi, malah mendorong untuk bekerja secara tidak efisien. Hubungan antara petani TRI dan pabrik gula mirip dengan hubungan antara sektor tradisional pertanian dan sektor modern industri. Yakni ingin membangun industri dengan pengorbanan pertanian. Term of trade komoditi pertanian terhadap produk-produk industri terus merosot. Swasembada pangan memang tercapai. Tetapi pendapatan petani malah memburuk. Mereka tetap miskin. Sementara itu, dengan pengorbanan seperti itu, ternyata, sektor industri bergerak sangat lamban sehingga tidak dapat menimbulkan efek positif bagi modernisasi sektor pertanian. Term of trade yang buruk menyebabkan daya beli masyarakat tani merosot. Ini berarti, sektor industri kehilangan pasar. Ekspor sangat diharapkan tetapi perkembangannya tidak pula lebih baik. Selain karena harus berhadapan dengan persaingan dan proteksi di pasaran internasional, ternyata, biang keladinya juga akibat rendahnya efisiensi domestik. Dus, kedua sektor pun, akhirnya, tetap merangkak. Nampaknya, untuk Indonesia lebih diperlukan upaya memperbaiki kondisi pasaran domestik. Caranya dengan meningkatkan daya beli konsumen, yang sebagian besar masih tertinggal di sektor pertanian. Nilai tukar (term of trade) antara komoditi pertanian dan produk-produk industri perlu diperbaiki. Ini hanya mungkin dilakukan apabila kesenjangan antara "pasar politis" dan "pasar ekonomis" dipersempit dan selanjutnya ditiadakan. Petani diberi kebebasan menentukan dan menjalankan jenis usaha tani yang, menurut perhitungannya, menguntungkan. Harga komoditi petani tak perlu dikekang, biarkan bergerak secara wajar sehingga memungkinkan investasi di sektor agribisnis menjadi menarik. Kondisi ini memungkinkan tumbuhnya modernisasi sektor pertanian tanpa banyak merepotkan pemerintah. Selanjutnya, tentu, deregulasi dan debirokratisasi pada lembaga-lembaga yang terkait dalam proses transfer surplus sektor pertanian ke sektor industri menjadi penting. Sebab, transfer surplus yang efisien akan menentukan efisiensi sektor industri. SUTRISNO IWANTONO Farm and Resource Management Okayama University Tsushima Naka, Okayama Shi 700 Japan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus