Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Gaji Naik atau Ebtanas Gagal

Sejumlah guru mengancam mogok mengajar. Mereka menuntut kenaikan tunjangan di atas 100 persen.

9 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Banyak sekolah di Bandung dan sekitarnya sepi pada hari Senin pekan lalu. Padahal, itu bukan hari libur. Apa yang terjadi? Rupanya, guru sekolah-sekolah itu sedang berdemonstrasi ke DPRD Jawa Barat. Mereka, seperti biasa, menuntut perbaikan nasib, antara lain kenaikan tunjangan di atas 100 persen. Tuntutan ini dinilainya wajar mengingat tekad pemerintah yang memberikan tunjangan jabatan yang jauh lebih besar bagi eselon tertentu. Rupanya, aksi unjuk rasa yang dilakukan para guru terjadi di mana-mana. Guru di Cianjur, Garut, Sumedang, juga berdatangan ke gedung DPRD Jawa Barat. Mereka menumpang angkutan umum, sepeda motor, dan bahkan truk. Sehari berikutnya, 1.500 guru di sekitar Purwokerto, Jawa Tengah, juga melakukan aksi serupa. Pada saat yang sama, ratusan guru di Jakarta mendatangi Gedung DPR RI Secara umum, para guru ini menggugat tiga hal. Kenaikan anggaran pendidikan, kenaikan gaji guru, dan perubahan sistem pendidikan di Indonesia. Anggaran pendidikan, yang saat ini hanya 7 persen dari APBN, mereka minta agar dinaikkan sampai 25 persen. Soal gaji, mereka menuntut kenaikan 200 persen, dan tunjangan fungsional sama dengan dosen, yang berarti naik sekitar 500 persen. Perbaikan sistem pendidikan dimaksudkan karena sampai saat ini status guru masih simpang-siur. Sebagian guru berada di bawah Departemen Pendidikan, sebagian yang lain di bawah pemerintah daerah atau di bawah Departemen Dalam Negeri. Para guru ini mengancam, jika tuntutan mereka itu tak segera dituruti, mereka akan mogok mengajar dan bahkan akan memboikot Ebtanas yang akan digelar Juni nanti. Kesejahteraan guru memang merupakan masalah klasik yang tak kunjung selesai. Selama ini mereka dibayar sama tinggi dengan pegawai negeri sipil pada golongan yang sama. Selain itu, guru mendapat tunjangan fungsional yang besarnya Rp 45 ribu hingga Rp 140 ribu. Pembagian rezeki itu yang dirasakan masih kurang. Sebab, tugas guru sebagai pendidik dianggap punya tanggung jawab lebih besar untuk menyiapkan generasi bangsa ini. Pemerintah saat ini memberikan kenaikan tunjangan fungsional untuk guru sebesar 100 persen. Namun, kenaikan itu dirasakan tak berarti karena harga kebutuhan pokok telah meroket meninggalkan daya beli mereka. Pengamat pendidikan Ki Supriyoko dari perguruan Taman Siswa menyebutkan gaji guru di Indonesia memang terlalu rendah jika dibandingkan negara tetangga. Guru baru dari golongan III, misalnya, sebulan dibayar tak lebih dari Rp 300 ribu (sekitar US$ 42). Sedangkan di Singapura, Malaysia, dan Brunei, mereka menerima upah lebih dari US$ 100. Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Pusat, Muhammad Surya, mengakui bahwa aksi unjuk rasa para guru itu di luar koordinasi PGRI. Namun, PGRI sendiri juga sudah mengajukan tuntutan yang hampir sama ke pemerintah. Hanya, PGRI memilih jalan perundingan karena sadar bahwa uang pemerintah memang terbatas. "Ya, moga-moga ada mukjizat," kata Surya. Mengenai kemungkinan akan ada mogok masal, PGRI mengaku tak bisa berbuat apa-apa. Sebab, saat ini guru bukan otomatis menjadi anggota PGRI. Paling-paling, kata Surya, PGRI mengimbau anggotanya agar tak ikut-ikutan mogok. Bagaimana dengan anak didik? Mungkin karena terbebas dari jam belajar, di Bandung para siswa yang ditinggal unjuk rasa mengaku mendukung aksi gurunya. Bahkan sebagian dari mereka sempat ikut bergabung ke gedung DPRD. Namun, di beberapa sekolah, aksi siswa yang ikut-ikutan ini dicegah guru-guru yang masih tinggal di sekolah. Sebab, ketika melakukan aksi unjuk rasa, guru-guru itu sebenarnya sudah memberikan tugas agar siswanya tetap berada di kelas. Tetapi yang terjadi, "Mending pulang saja, gurunya juga tidak ada," kata seorang siswi SMP. Cara guru meninggalkan kelas untuk larut dalam demonstrasi disayangkan Menteri Pendidikan Nasional Yahya Muhaimin. Sebab, cara itu hanya akan memperparah kondisi pendidikan di Indonesia yang masih banyak dikeluhkan. "Saya tidak melarang demonstrasi," kata Yahya, "tetapi caranya yang elegan, dong." Maksud Yahya, para guru itu mestinya menyampaikan pendapat lewat perwakilan dan jangan main paksa. Yahya meyakinkan, dalam setiap sidang kabinet, masalah kesejahteraan guru selalu disinggung. Terbukti, pemerintah memang baru mampu memberi kenaikan tunjangan fungsional. Selain itu, kelebihan jam mengajar juga akan dihitung. "Itu kan lumayan daripada tidak naik," kata Yahya. Tapi, masalah yang juga dikeluhkan para guru bukan naik atau tidak naik, tetapi tunjangan fungsional yang lebih adil. Agung Rulianto, Ardi Bramantyo, Upik S. (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus