Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Perlukah 'Operasi Keamanan'?

29 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

A.M. Hendropriyono*)
*) Ketua Umum Ikatan Alumni Lemhannas

SIDANG kabinet dua pekan lalu memutuskan untuk menyelesaikan masalah Aceh secara komprehensif yang, di antaranya, akan melibatkan operasi keamanan. Rencana tersebut menimbulkan kontroversi, terutama karena "operasi keamanan" disebut sebagai satu dari enam bidang yang akan ditangani. Pasalnya, operasi keamanan akan melibatkan kekuatan-kekuatan TNI lebih dari yang biasa dilakukan pemerintah di Aceh pasca-DOM.

Yang menjadi pertanyaan: bagaimana TNI akan digunakan dan apa dasar hukumnya? Salah satu alternatif dasar hukum yang sebenarnya dapat digunakan adalah UU Penanggulangan Keadaan Bahaya. Namun, karena hal itu belum diundangkan, secara yuridis acuannya adalah UU No. 23/1959 tentang Keadaan Bahaya.

Masalahnya: apakah undang-undang tersebut masih dapat digunakan pemerintah saat ini? Sekalipun legalitas undang-undang itu tidak diragukan, legitimasi politiknya sangat rendah. Bila pemerintah bersikeras menggunakannya, outcome kebijakannya justru berpotensi destruktif bagi pemerintah sendiri.

Alternatif berikutnya adalah Ketetapan MPR No. V/2000 yang menugasi pemerintah untuk segera menyelesaikan konflik persatuan/kesatuan nasional dan melaporkannya pada Sidang Tahunan MPR. Konsekuensinya, pemerintah harus menggunakan cara damai seperti yang dipersyaratkan. Masalahnya: apakah pelibatan TNI dalam operasi keamanan dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk penyelesaian "secara damai"?

Sekalipun beberapa kalangan menginterpretasikan penyelesaian konflik secara damai tanpa pelibatan militer sama sekali, "paradigma global" memberikan legitimasi kepada civil authority untuk melibatkan militer bila dipandang perlu. Dan kapasitas tersebut justru diberikan kepada civil authority untuk menghadapi konflik dalam masa damai (US Army FM 100-5 Operations).

Pelibatan militer dalam konteks ini sangat dimungkinkan karena civil authority masih memegang kendali pemerintahan, dan spektrum aktivitas bantuan militer pun masih berada dalam tertib hukum yang normal (David Robertson, Dictionary of Politics). Karena itu, pemerintah berhak melibatkan TNI dalam operasi keamanan, tidak saja di Aceh, tapi juga di seluruh wilayah negara kita.

Yang kemudian sering menjadi masalah adalah apabila aktivitas bantuan militer tersebut sudah berada di luar tertib hukum keadaan normal. Di satu sisi, hal-hal yang dilakukan militer hampir menggunakan seluruh norma martial law. Di sisi lain, pemerintah tidak mengundangkan keadaan darurat militer tersebut secara formal. Inilah yang terjadi di Timor Timur dan Aceh selama periode prareformasi. Sebab, DOM tidak dapat disamakan dengan keadaan darurat militer.

Dalam konteks militer, terminologi DOM lebih identik sebagai area of operation (AO) atau wilayah tempat dilakukannya operasi oleh militer. AO tidak hanya diperuntukkan bagi operasi militer yang bersifat tempur, tapi dapat juga untuk bantuan kemanusiaan dan bantuan terhadap civil authority. Jadi, sekalipun menggunakan area of operation yang sama, operasi yang dilakukan militer dapat berbeda-beda, tergantung kewenangan yang diberikan civil authority.

Paradigma seperti inilah yang harus dipahami. Publik perlu melihat bahwa tindak kekerasan dengan menggunakan senjata yang dilakukan oleh oknum Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah melanggar norma hukum positif kita. Hal ini menunjukkan bahwa GAM pun tidak terlepas dari fenomena polyarchy. Artinya, organisasi tersebut terpecah menjadi beberapa faksi yang kemungkinan bersaing untuk dipandang sebagai pihak yang paling berpengaruh (Robert Dahl, Polyarchy).

Dalam kondisi seperti ini, tidak ada jalan bagi pemerintah selain bernegosiasi langsung, tidak saja dengan para doves, tapi juga dengan para hawks GAM yang lebih suka bertindak sendiri dengan menggunakan senjata. Untuk itu, pemerintah harus belajar dari "keeksesifan" kebijakannya di Aceh dan Timor Timor selama periode prareformasi. Artinya, bila pemerintah memutuskan untuk menggelar operasi keamanan di Aceh, kewenangan elemen TNI harus disesuaikan dengan kapasitasnya sebagai bantuan terhadap civil authority dalam konteks tertib hukum keadaan normal.

Jadi, bila pemerintah memutuskan untuk melibatkan militer, sudah bukan saatnya lagi bagi TNI untuk merumuskan tugas-tugasnya sendiri. Pemerintah juga tidak bisa lagi memberikan perintah yang bersifat sangat umum kepada TNI untuk "melaksanakan operasi keamanan". Selain hal ini berpotensi menimbulkan interpretasi yang "eksesif" pada tataran operasional, tidak jelas siapa yang harus bertanggung jawab manakala terjadi kesalahan dalam implementasi. Karena itu, pemerintah harus berupaya memperkecil risiko kesalahan "bersama" tersebut dengan lebih memperjelas definisi tugas, kapasitas, dan kewenangan TNI dalam operasi keamanan.

Ada beberapa pilihan tugas TNI sesuai dengan the strategic end state atau kondisi akhir strategis yang akan dicapai. Keinginan pemerintah untuk mengembalikan operasional aset-aset vital merupakan alternatif pertama dan lebih realistis. Selain aktivitas TNI tersebut masih dimungkinkan dalam tertib hukum keadaan normal, tuntutan faktor lain pun relatif tidak terlalu sulit dipenuhi. Kepastian keberhasilan cukup visibel karena indikatornya sangat jelas.

Kemungkinan timbulnya korban juga akan sangat kecil karena yang menjadi obyek bukan faksi garis keras GAM. Bila dalam melakukan aktivitas ini GAM masih mengganggu dengan teror bersenjatanya, tidak bisa disalahkan bila TNI melakukan perlawanan. Selain itu, waktu yang dibutuhkan untuk menjamin beroperasinya kembali aset-aset vital tersebut juga tidak terlalu lama. Enam bulan merupakan rencana waktu yang cukup realistis.

Alternatif lain adalah bila pemerintah ingin mengembalikan stabilitas keamanan di Aceh secara total dengan melumpuhkan gerakan separatis Aceh. Untuk itu, kerangka operasi keamanan yang direncanakan menjadi tidak realistis. Selain aktivitas tersebut tidak dapat dilakukan TNI dalam konteks tertib hukum keadaan normal, faktor lainnya pun sulit dipenuhi. Kepastian keberhasilan, besarnya jumlah korban jiwa, dan waktu yang diperlukan untuk melumpuhkan gerakan separatis tidak memiliki ukuran yang jelas. Kalaupun pemerintah berhasil melumpuhkan para pemimpinnya, itu tidak secara otomatis menghentikan berkembangnya aspirasi tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus