Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bob Lowry*)
*) Analis senior International Crisis Group yang baru melakukan penelitian di Aceh, penulis buku The Armed Forces of Indonesia
MENTERI Pertahanan Mahfud menyatakan, sejak November tahun lalu, ada tekanan dari pihak militer dan pihak lain untuk menyatakan keadaan darurat sipil atau militer di Aceh. Namun, Abdurrahman Wahid berpendapat bahwa aksi militer tak dapat mengatasi konflik yang telah terlalu lama merajalela di Aceh. Jalan keluarnya, kabinet telah menggodok suatu paket instruksi presiden (inpres) komprehensif mencakup politik, sosial, ekonomi, dan keamanan guna memecahkan masalah tersebut. Sayang, inpres itu bagaikan suatu bungkus hampa karena bagian kunci dari bungkus itu belum lolos dari DPR, yaitu RUU Otonomi Khusus tentang Negara Aceh Darussalam. Dengan otonomi daerah yang cukup luas, ada kemungkinan pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pendukungnya bisa diyakinkan untuk mengesampingkan tuntutan kemerdekaan. Bentuk otonomi daerah di Aceh ini bakal berbeda dengan otonomi di daerah lain yang sudah diterapkan sejak Januari lalu. Otonomi ini akan dipusatkan di tingkat provinsi, bukan kabupaten. Wewenangnya mencakup semua bidang, kecuali masalah pertahanan terhadap ancaman dari luar negeri, hubungan luar negeri, dan keuangan. Ini berarti struktur teritorial tentara harus dibubarkan karena rakyat Aceh akan mengurusi masalah keamanan mereka sendiri. Tapi, untuk menjamin kedaulatan RI, pangkalan laut, pangkalan udara, dan suatu garnisun tentara akan dipertahanankan. Pasti harus ada kompromi di sana-sini. Tapi, secara garis besar, otonomi daerah seperti ini mungkin bisa memikat hati rakyat Aceh untuk tetap menjadi warga negara RI. Namun, ada pihak di Jakarta yang menolak RUU tersebut karena dianggap sebagai langkah pertama ke arah kemerdekaan atau pembentukan negara federasi secara terselubung. Lobi mereka tampaknya cukup kuat di DPR untuk menggagalkan keluarnya undang-undang otonomi Aceh tersebut. Bila demikian, tidak ada harapan bahwa masalah Aceh bisa dipecahkan secara damai. GAM tak bisa memaksakan RI keluar dari Aceh. Dan tekanan mereka pada instansi pemerintah setempat dan kompleks industri di Lhokseumawe tidak bakal memecah-belah Indonesia, walau harus diakui bahwa tutupnya produksi gas di sana menarik lebih banyak perhatian pihak Jakarta. Lagi pula sudah jelas bahwa negara adikuasa ataupun PBB tidak akan memaksa Jakarta melaksanakan suatu referendum, apalagi mengirim pasukan perdamaian ke Aceh. Jakarta pun dipastikan tidak akan mengizinkan pelaksanaan suatu referendum atau memberikan kemerdekaan kepada Aceh. Di pihak lain, jika TNI diberi wewenang melaksanakan operasi militer, mereka pasti mampu memberantas sebagian besar orang bersenjata di Aceh. Niat baik itu, sayangnya, tidak bisa dijamin akan dilaksanakan dengan baik. Pasukan TNI bisa dilatih habis-habisan secara khusus di Batujajar, tapi sebelum masalah struktural TNI dan sektor keadilan dirombak secara total, tingkah laku pasukan setelah beberapa hari di lapangan tidak akan jauh berbeda dengan perlakuan mereka di masa Orde Baru. Keadaan di Aceh jauh berbeda dengan keadaan di Maluku, misalnya. Di Maluku, yang diperlukan adalah pasukan yang tidak memihak kelompok yang bertikai. Tidak jadi masalah kalau mereka melanggar hukum di sana-sini, asalkan tindakan tersebut tak berkesan memihak. Sedangkan di Aceh, konfliknya adalah RI melawan rakyat Aceh. Semua pelanggaran TNI/Polri, apa pun alasannya, akan menyulitkan redanya konflik tersebut. Padahal, kemungkinan terjadinya pelanggaran amatlah besar. Misalnya, pasukan TNI yang ke sana diberi suatu tunjangan dinas supaya mereka tidak menekan masyarakat setempat untuk menutupi kekurangan gaji resmi mereka, tapi kebiasaan itu lama-kelamaan akan muncul lagi. Apalagi belum ada sistem untuk mengawasi perlakuan seperti itu. Maka, makin banyak pasukan dan polisi yang berada di Aceh, makin diperas masyarakatnya dan makin sulit mengambil hati orang Aceh. Yang lebih parah, sulit sekali membedakan orang bersenjata dengan rakyat tak bersenjata karena mereka tinggal bersama-sama di kota, desa, dan kampung. Dengan begitu, operasi mencari orang bersenjata pasti akan membawa efek samping yang akan menyakiti lagi hati rakyat Aceh. Tentu saja pihak GAM dan GAM gadungan juga memeras, membunuh, memerkosa, dan membakar sesama warga negaranya, tapi tindakan seperti itu harus ditangani oleh masyarakat Aceh sendiri bekerja sama dengan polisi. Dan polisi, paling tidak, harus bertanggung jawab kepada masyarakat Aceh untuk masalah keamanan, kalau tidak dijadikan polisi provinsi. Mengenai inpres, para menteri mengimbau masyarakat agar tidak menilainya dari sudut keamanan saja, melainkan sebagai paket enam langkah yang komprehensif. Namun, Menteri Mahfud sendiri mengakui bahwa lebih dari 80 persen daerah Aceh berada di luar kendali pemerintah. Dengan kondisi langkah lain tak mungkin bisa digerakkan sebelum keamanan ditegakkan kembali itu, mau tidak mau tindakan yang akan menarik perhatian rakyat adalah pemulihan kekuasaan RI di Aceh. Ini bukan hal yang mudah. Meskipun lama-kelamaan orang bersenjata bisa dipisahkan dari rakyat dan jumlahnya bisa dikurangi, mereka tak bisa dibasmi habis. Mereka masih bisa mengganggu keamanan pusat industri Lhokseumawe kalau diingat jalan pipa dan jaringan listrik industri itu terbentang pada jarak 80 kilometer. Selain itu, GAM masih punya opsi, yang belum ditempuh secara serius, untuk melancarkan serangan teroris di luar Aceh. Untuk itu, ada tiga pilihan untuk memecahkan masalah Aceh: melancarkan operasi pemulihan keamanan, melancarkan dialog yang sungguh-sungguh, atau melancarkan operasi militer dan berdialog. Kalau operasi militer yang dipilih, sebaiknya keadaan darurat dan operasi militer dinyatakan secepat mungkin. Namun, satu hal harus diterima: operasi militer harus dipertahanankan bertahun-tahun dengan segala akibatnya buat rakyat Aceh dan perkembangan demokrasi, ekonomi, dan persatuan Indonesia pada umumnya. Bila dipilih jalan berdialog, pihak pusat harus siap berkompromi secara tulus. Mereka harus menerima kenyataan bahwa masyarakat Aceh telah kehilangan secara total kepercayaannya terhadap Jakarta. Dengan begitu, baik pemerintah maupun legislatif harus betul-betul meninjau kembali arti kebinekaan untuk bentuk negara, khususnya berhubungan dengan masa depan Aceh. Kalau yang dipilih jalan perang dan berdialog, zamannya telah berlalu sepuluh tahun yang lalu. Sebaiknya, jalan berdialog yang dipilih dengan kerja sama sungguh-sungguh dari semua pihak, khususnya pemerintah dan DPR. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo