Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zaim Uchrowi
Ketua Yayasan Karakter Pancasila
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hannawantstoplay. Hanna ingin bermain. Itu merek. Merek pakaian anak-anak umur 4-10 tahun. Siapa pengembangnya? Seorang anak pula. Baru berusia 11 tahun saat namanya melejit. Ia merupakan lulusan terbaik sebuah sekolah busana di Jakarta pada 2019, mengalahkan semua rekannya yang sudah dewasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rancangannya memang membuat tercengang. Lebih dari itu, konsep atau pemikiran di balik rancangannya pun dinilai luar biasa. Pesanan demi pesanan terus mengalir kepadanya, dari kalangan eksekutif maupun selebritas.
Toh, ia tak ingin kehilangan masa kanak-kanaknya untuk bermain. Lalu ia pun merancang baju buat anak-anak. Hannawantstoplay itu. Itu ekspresinya: titik temu antara dunia desainer dan dunia anak-anaknya. Untuk beberapa tahun ke depan, ia ingin menambah ilmu lebih dalam, tetap di dunia busana, di Paris. Dia Hanna Khadijah, remaja kecil dari Bandung.
Pahamkah Hanna tentang Pancasila? Jika yang ditanyakan adalah 45 butir materi Pemahaman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila versi Majelis Permusyawaratan Rakyat pasca-reformasi, Hanna pasti menggeleng.
Jangankan Hanna, siapa pun juga akan menggeleng jika itu pertanyaannya. Coba tanyakan kepada para pemimpin MPR tentang hal yang sama. Juga kepada presiden atau seluruh pimpinan dan staf Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Hampir pasti semua akan menggeleng.
Tapi mari ajukan kepada Hanna pertanyaan berbeda. Apakah dia bertuhan? Apakah dia punya rasa kemanusiaan? Apakah dia menganggap penting persatuan? Apakah dia biasa bekerja sama atau bergotong-royong? Apakah ia ingin hidup sejahtera, adil, dan makmur?
Dia pasti akan mengangguk. Walaupun mungkin dia akan mengatakan masih belajar dan merasa belum sempurna. Tapi siapa sih manusia biasa yang sempurna?
Hanna adalah salah satu potret anak Indonesia. Anak-anak yang tumbuh di lingkungannya sendiri, lalu beraktualisasi sesuai dengan minat dan kemampuannya, termasuk berinteraksi dengan khazanah global yang membentang pada era industri 4.0 ini.
Mereka tidak bicara soal Pancasila. Tapi tentu menjalankan nilainya dengan caranya masing-masing. Nilai itu berasal dari keluarga, juga dari lingkungannya, dalam bentuk nilai-nilai keseharian yang mungkin tanpa ditempeli label Pancasila. Lalu sedikit dari sekolah. Ya, sedikit.
Apakah anak-anak itu masih perlu diajarkan Pancasila lagi? Secara khusus lewat sekolah? Kebanyakan orang akan mengangguk. Pancasila justru dianggap penting untuk ditumbuhkembangkan pada zaman ini. Zaman yang dianggap tak menentu ini.
Orang-orang menyebut zaman ini sebagai zaman VUCA: volatile, uncertainty, complex, dan ambiguous. Labil, serba tak pasti, rumit, serta beragam makna. Pada zaman begini, aspek ketuhanan dipandang penting untuk dikuatkan buat menjadi akar kokoh guna mengarungi kehidupan.
Tuhan tentu sudah hadir di hati anak-anak itu, dalam perspektif mereka masing-masing. Pendidikan Pancasila yang tepat akan menguatkan kehadiran-Nya. Bukan sekadar berwujud formalitas beragama, tapi dalam wujud spiritualitas dan keyakinan yang mendalam.
Keyakinan dan spiritualitas itu yang akan memudahkan mereka meraih kesuksesan. Begitu pula nilai-nilai lain Pancasila, seperti kemanusiaan, kebangsaan, demokrasi atau gotong-royong, hingga nilai keadilan sosial atau kemakmuran. Pendidikan Pancasila yang, sekali lagi, tepat, akan membuat nilai-nilai tersebut relevan dengan keperluan mereka buat meraih masa depan.
Lalu seperti apa pendidikan Pancasila "yang tepat" itu? Para pakar sepakat pendidikan perlu melalui tiga pintu: keteladanan (role modeling), pembiasaan (conditioning), dan pengajaran (learning). Pendidikan Pancasila semestinya juga mengacu pada kaidah itu.
Keteladanan menjadi hal yang utama. Seberapa jauh orang tua, guru, hingga tokoh masyarakat menjadi teladan berpancasila? Seberapa dalam spiritualitas orang tua dan guru? Juga kepedulian mereka kepada sesama? Itu yang pertama kali perlu ditumbuhkan buat menguatkan kepancasilaan setiap anak.
Selanjutnya, wujud pembiasaannya di sekolah, yakni melalui hal-hal sederhana yang menjadi cermin nilai Pancasila, seperti pembiasaan untuk berdoa, mengucap "maaf", "terima kasih", dan "tolong". Juga pembiasaan untuk antre dan menjaga kebersihan.
Keteladanan dan pembiasaan adalah pendekatan yang paling diperlukan untuk pengajaran Pancasila. Ketika keduanya berjalan baik, 80 persen pengajaran Pancasila sudah selesai. Selebihnya dapat diperoleh dari jalan lain, termasuk pengalaman hidup.
Apakah masih perlu pelajaran Pancasila? Pelajaran akan melengkapinya. Pelajaran yang tentu perlu berbeda dengan pelajaran lain, bukan semata temanya. Lebih dari itu adalah karakter materinya.
Pelajaran umumnya mengenai ilmu pengetahuan, dari kurikulum hingga metode pembelajaran yang mendorong penilaian yang terukur. Namun Pancasila bukan ilmu pengetahuan. Pancasila adalah nilai. Perlu pembelajaran yang sangat menarik agar nilai dapat tertanam.
Menarik. Ya, itu kata kuncinya. Bagi generasi Z dan generasi Alpha, menarik adalah keharusan. Mereka menolak pembelajaran formal dan normatif. Model pembelajaran begitu hanya akan mengapatiskan mereka. Sebaliknya, pembelajaran menarik akan membuat mereka antusias.
Dapatkah Pancasila menjadi pelajaran yang akan membuat mereka antusias? Itu tantangannya. Jika bisa, Pancasila akan melejitkan generasi Hanna buat menaklukkan masa depan. Meski tampak suka bermain, generasi ini punya potensi luar biasa, lebih dari pendahulunya. Tinggal bagaimana kita membangkitkannya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo