Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Neles Tebay
Dosen STF Fajar Timur dan Koordinator Jaringan Damai Papua
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aksi-aksi kekerasan bersenjata terhadap aparat keamanan dan warga sipil non-Papua (pendatang) yang dicurigai bekerja sama dengan Tentara Nasional Indonesia-Kepolisian RI dilakukan oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, sayap militer Organisasi Papua Merdeka (OPM), sejak Desember 2018 hingga Januari 2019. TNI menyebut mereka sebagai kelompok kriminal separatis bersenjata, sedangkan polisi menyebutnya kelompok kriminal bersenjata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengumumkan keamanan di Papua sebagai prioritas TNI pada tahun ini. Selanjutnya, TNI menggagas perlunya mendengarkan keinginan OPM. Menurut Hadi, TNI akan mewadahi keinginan OPM untuk menciptakan rasa aman di Bumi Cenderawasih. Tapi dia juga menegaskan tidak akan berkompromi apabila OPM justru menginginkan kemerdekaan bagi Papua.
Keinginan TNI untuk mendengarkan keinginan OPM mengandaikan kemungkinan menggelar pertemuan dialogis. Dalam pertemuan tersebut, wakil dari TNI dan OPM hadir secara fisik dan saling memandang sebagai sesama warga negara Indonesia. Mereka berbicara dari hati ke hati, saling mendengarkan, sehingga memahami keinginan masing-masing pihak. Tanpa melalui pertemuan dialogis, TNI tidak akan mengetahui keinginan OPM yang sebenarnya.
Perlu disadari bahwa bertemu dengan kelompok OPM juga bukan perkara gampang. Mereka belum tentu langsung percaya dan menerima gagasan TNI ini karena tiga alasan. Pertama, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2011 menyatakan pentingnya pertemuan dialogis antara pemerintah pusat dan masyarakat Papua. Tapi OPM tahu bahwa hingga akhir masa kepresidenan SBY, pertemuan dialogis antara pemerintah pusat dan masyarakat Papua tidak pernah terlaksana.
Kedua, ada kesan pemerintah Joko Widodo punya pemahaman yang berbeda tentang pertemuan dialogis ini. Hal tersebut tampak dalam pernyataan sejumlah pejabat di Jakarta. Presiden Jokowi sendiri melihat pentingnya pertemuan dialogis tentang Papua, sebagaimana yang disampaikannya kepada rakyat Papua pada Desember 2014 di Jayapura.
Namun, menanggapi kasus penembakan karyawan di Kabupaten Nduga pada awal Desember 2018, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menegaskan, jalur negosiasi dengan kelompok bersenjata sudah tak mungkin dilakukan. Pemerintah Indonesia tak sepatutnya melakukan dialog dengan kelompok bersenjata untuk menyelesaikan konflik di Papua. Sebab, kelompok bersenjata tidak sejajar dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Senada dengan Wiranto, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan bahwa tidak ada negosiasi dengan kelompok kriminal bersenjata. Mereka harus menyerah atau diselesaikan. Itu berarti pertemuan dialogis dengan OPM tidak diperlukan. Namun TNI pada tahun ini berkeinginan mendengarkan dan mewadahi keinginan OPM, kecuali kemerdekaan bagi Papua, yang mengandaikan perlunya pertemuan dialogis.
Perbedaan pandangan seperti ini dapat memunculkan keraguan kelompok OPM terhadap keterbukaan dan niat TNI. OPM bahkan dapat mempertanyakan apakah gagasan TNI untuk mendengarkan keinginan-keinginan mereka adalah kemauan TNI sendiri atau kebijakan pemerintah pusat. Apakah gagasan TNI ini mendapat dukungan dari pemerintah pusat?
Ketiga, kelompok OPM sadar bahwa selama ini mereka dipandang dan diperlakukan sebagai musuh negara yang mengancam keutuhan teritorial Indonesia, sehingga mereka dapat dibunuh kapan saja dan di mana saja di Papua dengan alasan membasmi separatisme Papua. Maka pertemuan dengan TNI bisa saja ditolak OPM karena dicurigai sebagai suatu cara untuk menjebak dan menghabisi mereka.
Jadi, tantangannya adalah bagaimana meyakinkan OPM bahwa TNI sungguh-sungguh mau mendengarkan keinginan mereka. Gagasan TNI ini perlu dikomunikasikan dengan kelompok OPM. Komunikasi melalui surat dan media sosial sulit dipercaya. Mengutus orang Papua untuk menyampaikan niat TNI juga belum tentu diterima OPM. Sebaiknya TNI mengutus wakilnya sebanyak satu atau dua orang untuk bertemu secara pribadi dengan kelompok OPM. Utusan itu merupakan anggota TNI yang dapat dipercaya oleh OPM. Dalam pertemuan dengan mereka nanti, wakil TNI dapat menyampaikan keseriusan TNI serta tujuan dan maksud dari gagasan untuk mendengarkan keinginan OPM. Juga mendengarkan secara langsung tanggapan dan harapan OPM.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo