Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Petroyuan dan Senja Kala Dolar

Belum satu tahun Cina meluncurkan kontrak perdagangan berjangka minyak dalam mata uang yuan (renminbi) di Shanghai International Energy Exchange (SINE).

26 Februari 2019 | 07.09 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tri Winarno
Penulis buku Indonesia Responding the Dynamic of Global Economy

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Belum satu tahun Cina meluncurkan kontrak perdagangan berjangka minyak dalam mata uang yuan (renminbi) di Shanghai International Energy Exchange (SINE). Fenomena tersebut dikenal sebagai "petroyuan" oleh para pelaku pasar minyak karena kontrak perdagangan berjangka minyak selama ini dilakukan hanya dalam mata uang tunggal, yaitu dolar Amerika Serikat. Munculnya petroyuan adalah suatu fenomena baru dan sangat menantang, baik bagi masyarakat internasional maupun Cina, apalagi bagi Amerika.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yang mengejutkan lagi, belum seumur jagung bayi petroyuan lahir, volume transaksinya telah menyalip kontrak perdagangan berjangka minyak dalam dolar Amerika di Singapura dan Dubai. Tentu saja volume perdagangan di SINE masih tertinggal jauh dari Brent Oil Contracts di London, Inggris, ataupun di West Texas Intermediate Oil Futures (WTI) di New York, Amerika.

Namun perdagangannya di SINE telah disambut antusias oleh pedagang komoditas multinasional, seperti Glencore. Sistem pengenaan harga dan indeksasinya juga telah mengikuti aturan baku, seperti yang berlaku di Brent dan WTI. Sampai-sampai ulasan pakar minyak di The Asia-Pacific Journal menyimpulkan bahwa petroyuan telah mengantarkan renminbi ke jantung pasar komoditas global karena, pada hakikatnya, inti dari pasar komoditas global adalah pasar minyak. Transaksi perdagangan kontrak berjangka minyak di SINE diproyeksikan tidak lama lagi melampaui Brent dan WTI.

Peluncuran petroyuan itu akan segera diikuti oleh kontrak perdagangan berjangka dalam renminbi untuk komoditas lain, seperti kelapa sawit, karet, bahkan batu bara. Karena impor minyak Cina menggunakan renminbi, perusahaan asing yang menjual komoditas ke Cina akan memiliki rekening bank dalam mata uang tersebut. Renminbi tersebut tidak hanya akan digunakan sebagai alat bayar barang dan jasa produk Cina, tapi juga dapat digunakan untuk membeli obligasi dan saham pemerintah. Maka dampaknya akan sangat signifikan dalam memperkuat pasar modal Cina dan mendorong percepatan internasionalisasi renminbi. Fenomena petroyuan ini identik dengan dedolarisasi, khususnya di pasar komoditas, terutama minyak.

Selama beberapa dekade, strategi Cina untuk menginternasionalkan renminbi dilakukan dengan berbagai cara, termasuk mengupayakan agar yuan dimasukkan ke Special Drawing Rights (SDR) Dana Moneter Internasional (IMF) sebagai alternatif cadangan devisa internasional. Pada 2009, Zhou Xiaochuan, gubernur bank sentral Cina, memaparkan suatu strategi dalam esainya bahwa IMF seharusnya mengadopsi yuan sebagai alat pembayaran internasional. Menurut Zhou, alokasi baru dalam SDR untuk mata uang yang berasal dari negara industri baru seperti Cina akan memperkuat posisi SDR sebagai instrumen pembangunan sekaligus sebagai alat pembayaran internasional yang setara dengan dolar Amerika. Di tengah krisis keuangan global pada 2008, menjadikan SDR sebagai pusat alat pembayaran internasional dengan memasukkan mata uang kuat lainnya semakin dirasa sangat mendesak.

Ulasan Zhou itu menunjukkan bahwa sistem keuangan internasional yang berpusat pada dolar Amerika sudah tidak memadai, terutama mengingat dampak dari defisit anggaran Amerika yang semakin kronis. SDR harus menjadi alternatif sistem keuangan global atau bahkan lebih unggul daripada sistem dolar Amerika. Cina akhirnya berhasil memasukkan yuan ke SDR bersama mata uang kuat lainnya walaupun belum berhasil menjadikan SDR sepadan dengan dolar Amerika.

Munculnya petroyuan, yang akan diikuti oleh pendirian perdagangan komoditas lain berbasis yuan, bertepatan dengan agresivitas proteksionistik Presiden Amerika Donald Trump. Ini benar-benar merupakan pertanda akan berakhirnya hegemoni Amerika dalam sistem keuangan internasional. Tak lama lagi dolar Amerika akan mengalami senja kala alias tidak akan menjadi jangkar sistem moneter internasional lagi. Dolar Amerika akan kehilangan hak istimewanya atau, menurut istilah mantan Menteri Keuangan Prancis, Valery Giscard d’Estaing, dolar akan kehilangan exorbitant privilege yang disandangnya selama hampir 70 tahun.

Arogansi Amerika dalam menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap negara-negara yang tidak disukainya justru memperteguh langkah yuan menuju mata uang utama internasional. Baik Rusia maupun Iran, yang menjadi target sanksi ekonomi Amerika, misalnya, kini mengekspor minyaknya ke Cina dengan menerima pembayaran dalam renminbi. Kedua negara tersebut juga menjadi mitra dagang utama Cina dan sekutu yang sangat erat.

Ditambah dengan fakta bahwa Cina adalah importir minyak terbesar di dunia serta produsen dan pengekspor utama produk manufaktur di pasar global, petroyuan benar-benar telah menjadi senjata pamungkas yang akan mengantarkan renminbi sebagai mata uang utama internasional.

Kalau Cina mampu bertahan dari gempuran perang dagang Amerika saat ini, upaya Cina tersebut akan melahirkan tata keuangan global dan sistem moneter internasional yang multipolar. Dengan demikian, berakhirlah sistem keuangan global unipolar yang hanya bertumpu pada dolar Amerika.

Indonesia harus mampu mengantisipasi dampak dari petroyuan tersebut sehingga kebijakan dan strategi penentuan kontrak harga minyak dan harga komoditas lain dapat menguntungkan ekonomi nasional, terutama terkait dengan posisi Indonesia sebagai pengekspor komoditas dan pengimpor minyak dunia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus