Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Edbert Gani Suryahudaya
Peneliti pada Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah dan partai politik menunjukkan sinyal bahwa mereka ingin mengembalikan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung menjadi tidak langsung untuk sejumlah daerah dengan indikator tertentu. Mereka menyebutnya sebagai pemilihan kepala daerah asimetris. Sayangnya, alasan yang dikeluarkan hanya sebatas biaya yang tinggi tanpa menyentuh pelayanan publik sebagai hilir dari sebuah sistem politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pendukung pilkada asimetris berargumentasi bahwa praktik ini sesungguhnya telah berjalan di Indonesia. Jakarta dan Yogyakarta dijadikan contoh daerah yang telah melaksanakannya. Sayangnya, alasan ini bermasalah. Jakarta adalah kota yang memiliki kekhususan di bawah aturan perundangan karena menjadi ibu kota negara. Wali kota di Jakarta hanya bersifat administratif dan tidak memiliki otonomi layaknya daerah lain. Karena itulah pemilihannya dilakukan melalui penunjukan langsung oleh Gubernur DKI. Begitu juga Yogyakarta, yang memiliki kekhususan sebagai wilayah kesultanan.
Menjadikan Jakarta atau Yogyakarta sebagai indikator tidaklah tepat. Kekhususan ini tidak bisa diterapkan di daerah-daerah lain. Apabila dipaksakan, ia akan menghasilkan dampak politik besar karena daerah-daerah lain akan menuntut kekhususan mereka sendiri. Masalah ini bisa mengguncang stabilitas nasional dan rawan konflik antar-daerahhal yang justru ingin dihindari sejak awal.
Penentuan bahwa sebuah daerah lebih layak untuk menyelenggarakan pilkada langsung dibanding yang lain juga memiliki argumentasi yang lemah. Tingkat ekonomi yang tinggi di satu daerah tidak bisa mewakili kelebihan masyarakatnya dalam memilih pemimpin.
Di balik alasan-alasan itu, tampaknya alasan ekonomi-politik lebih berperan. Selama ini pemerintah pusat cukup kesulitan karena tidak selarasnya regulasi pusat dan daerah, terutama yang menyangkut dunia usaha. Hal ini diperkuat oleh putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2017 yang mencabut kewenangan Menteri Dalam Negeri untuk membatalkan peraturan daerah.
Masalahnya, tidak ada jaminan bahwa pilkada tidak langsung bisa menciptakan iklim usaha yang lebih baik. Mengubah pilkada menjadi tidak langsung akan mentransfer jual-beli kebijakan daerah menjadi milik partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah saja. Pilkada tidak langsung akan menghilangkan keseimbangan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif yang dimungkinkan oleh sistem yang ada sekarang. Poin terpenting ada pada konteks penganggaran daerah.
Perlu dicermati pula bahwa tiap partai pun sering kali tidak memiliki kesamaan pandangan di level daerah dan nasional. Koalisi partai di level nasional sering tidak termanifestasi di daerah.
Kuncinya ada pada konsistensi dalam sistem demokratis dan keseriusan dalam penegakan hukum. Sistem politik demokratis, apabila diadaptasi secara substansial dan mengakar di masyarakat, akan menjamin kredibilitas kebijakan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan sistem yang sentralistis dan terlebih lagi despotis. Ini terjadi karena adanya kepastian dalam transisi kekuasaan yang reguler serta perlindungan terhadap hak kepemilikan dalam sistem demokrasi. Pengambilan keputusan dalam sistem yang demokratis memang memakan waktu, tapi hasilnya akan lebih tahan lama. Kontrol dari masyarakat dan peradilan yang bisa dipercaya oleh publik adalah aspek yang diperlukan untuk mencapai hal tersebut.
Hal yang lebih mendesak untuk dievaluasi bukanlah sistem pemilihan di daerah, melainkan bagaimana pemerintah yang terbentuk dapat memenuhi pelayanan publik secara maksimal. Contohnya, salah satu tantangan selama ini ada pada keberlanjutan pembangunan di tiap daerah dengan kepala daerah yang silih berganti.
Dalam sebuah studi mendalam yang CSIS lakukan di beberapa kota dan kabupaten ditemukan bahwa keberlanjutan sebuah program kebijakan banyak ditunjang oleh stabilitas politik. Partai politik memiliki peran besar dalam merekrut kepala daerah dan mengawal keselarasan pembangunan yang dilakukan kader mereka. Setiap pemimpin yang baru terpilih selalu terpancing untuk membuat program baru dan menghilangkan program pemimpin sebelumnya untuk menciptakan peninggalan politiknya sendiri.
Salah satu akibatnya, rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD), yang didasari oleh visi-misi kepala daerah, kerap tidak sesuai dengan desain tata ruang kota yang sudah ada sebelum ia memimpin. Hubungan antara perencanaan spasial dan perencanaan pembangunan sering menjadi tidak selaras. Satu solusi yang mungkin bisa didiskusikan ialah pembentukan semacam dewan kota atau kabupaten yang mengawasi kesinambungan pembangunan dalam jangka panjang, terutama untuk memenuhi target pembangunan yang berkelanjutan.
Terlepas dari banyaknya kekurangan, pilkada langsung telah menjadi sarana lahirnya pemimpin-pemimpin inovatif di daerah, bahkan nasional. Contoh nyatanya adalah Jokowi, presiden berlatar belakang sipil pertama yang memulai karier politiknya sebagai kepala daerah. Semua itu dimungkinkan karena adanya pilkada sebagai ajang bertarungnya gagasan dan rekam jejak. Kemajuan ini jangan sampai diruntuhkan hanya untuk kepentingan pragmatis jangka pendek.