Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta-Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi, Fadjroel Rachman, mengatakan Presiden Joko Widodo menyatakan sikap bahwa pemerintah ingin pemilihan kepala daerah tetap dilakukan secara langsung atau pilkada langsung.
"Presiden Jokowi mengatakan 'pilkada provinsi/kabupaten/kota tetap melalui mekanisme pemilihan langsung'," kata Fadjroel lewat pesan singkat, Selasa, 12 November 2019.
Menurut Fadjroel, pemilihan secara langsung merupakan cermin kedaulatan rakyat atau demokrasi yang sejalan dengan cita-cita Reformasi 1998. Terkait pernyataan Kementerian Dalam Negeri yang mengusulkan pilkada langsung dievaluasi, kata Fadjroel, yang dievaluasi bukan sistemnya. "Yang akan dievaluasi hanya teknis penyelenggaraan," ujar dia.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik Piliang mengatakan pihaknya mengusulkan agar sistem pilkada tidak seragam untuk menekan biaya politik yang tinggi. Salah satu opsinya adalah mengembalikan pemilihan kepala daerah ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bagi daerah tertentu.
Akmal menjelaskan mengembalikan sistem pemilihan ke DPRD dilakukan hingga daerah tersebut siap melaksanakan pemilihan secara langsung. Ia menilai kualitas demokrasi antara satu wilayah dengan yang lainnya di Indonesia berbeda-beda.
"Tergantung daerahnya. Kayak Jakarta. Jakarta, kan, sudah maju, enggak mungkin DPRD lagi. Tapi kalau Papua, mungkinkah kembali ke DPRD lagi? Mungkin saja. Atau di daerah-daerah kepulauan yang kalau dengan pilkada langsung cost-nya tinggi sekali. Bisa gak pakai DPRD? Bisa saja, why not. Sampai mereka siap," katanya saat ditemui di Kompleks Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Kamis, pekan lalu.
Menurut Akmal Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian telah memerintahkan untuk mengelompokkan daerah mana saja yang bisa menerapkan pilkada langsung dan mana yang tidak. "Itu yang sekarang kami lagi coba lakukan. Arahan Pak Menteri bikin cluster wilayah," ucap dia.
Ia menuturkan jika hal ini pada intinya masih sebatas wacana. Sebabnya untuk pilkada serentak 2020 tetap mengacu pada Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016. "Persoalannya ini, kan, sebatas gagasan. Gagasan kami. Kami boleh bergagasan, siapapun boleh bergagasan," ucap Akmal.
Akmal berujar hasil evaluasi Pilkada 2012 yang dilakukan Kemendagri menunjukkan sistem pilkada langsung biaya politiknya tinggi. "Itu fakta 2012 dulu. Kami melakukan evaluasi, review, alokasi dana itu Rp 20-30 miliar (untuk menjadi) bupati. Bahkan ada yang lebih," tuturnya.
AHMAD FAIZ
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini