Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIMBANG bimbang, sebaiknya pemerintah menunda saja rencana membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Sebelum proyek sangat strategis itu diputuskan, koordinasi antarlembaga pemerintah mesti berjalan baik. Rakyat perlu mendapat kepastian bahwa proyek itu benar-benar aman.
Keputusan tegas pemerintah diperlukan semua pihak yang berkaitan dengan urusan nuklir ini. Misalnya Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), yang berancang-ancang menyiapkan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir berskala kecil di kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Serpong, Tangerang Selatan. Akibat perubahan angin di jajaran pucuk pemerintahan, rencana itu terkatung-katung. Ketika berkunjung ke Batan, pertengahan April lalu, Presiden Joko Widodo tampak antusias terhadap rencana Batan. Tapi akhir Juni lalu, ketika berkunjung ke Bangka Belitung, Presiden mengaku belum memikirkan opsi pembangunan PLTN.
Kesimpangsiuran, celakanya, menjalar sampai ke kementerian. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said mengaku belum menyetujui isi buku putih bertajuk "PLTN 5.000 MW di Indonesia" yang dikeluarkan kementeriannya. Buku yang disiapkan akhir tahun lalu itu merinci alasan dan tahapan menuju pembangunan pembangkit energi nuklir di Indonesia. Padahal bawahan Menteri Sudirman, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Rida Mulyana, memastikan Sudirman sudah memberi lampu hijau.
Silang pendapat ini sesungguhnya menunjukkan tidak satu padunya sikap pemerintah tentang pemanfaatan energi nuklir. Dewan Energi Nasional tegas menolak rencana Batan. Sedangkan Batan beralasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2015-2024 yang diterbitkan Kementerian Energi, dan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional mencantumkan perlunya pembangunan PLTN.
Pro dan kontra begini bukan hal baru. Sejak Batan pertama kali merilis rencana pendirian PLTN di Semenanjung Muria, Jepara, Jawa Tengah, pada 2007, semua argumentasi tentang kelebihan dan kekurangan energi nuklir sudah dibahas. Rencana reaktor nuklir mini di Serpong itu pun sebenarnya bagian dari uji coba agar kesiapan teknologi dan infrastruktur pendukung bisa diperiksa lebih saksama.
Di sisi lain, kecelakaan reaktor nuklir seperti yang terjadi empat tahun lalu di Fukushima, Jepang, seperti menyurutkan semua rencana. Pendapat yang berkembang setelah "Tragedi Fukushima", seandainya sumber energi alternatif lain masih tersedia, opsi nuklir bisa menunggu.
Satu hal yang membuat opsi nuklir seperti mendapat pembenaran: meningkatnya kebutuhan listrik nasional. Saat ini kebutuhan bertambah 5.900 megawatt per tahun. Sedangkan pembangkit yang ada hanya memenuhi 4.200 megawatt. Indonesia perlu tambahan 6,2 gigawatt per tahun agar tak tekor. Sementara itu, dengan ancaman pemanasan global, semua negara semestinya wajib mengurangi ketergantungan pada energi fosil, seperti minyak, gas bumi, dan batu bara.
Sebelum mengambil kata akhir, Presiden Jokowi sebaiknya memperhatikan pedoman International Atomic Energy Agency. Lembaga pengawas itu menegaskan pentingnya konsensus nasional berdasarkan partisipasi publik yang utuh sebagai prasyarat utama pengembangan energi nuklir di suatu negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo