Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WAJAH kusut Nahdlatul Ulama diisyaratkan Kiai Haji Ahmad Mustofa Bisri ketika menolak dipilih sebagai Rais Am. Padahal dia didaulat melalui fora sembilan elite kiai, yang dikenal dengan ahlul halli wal aqdi, wakil muktamirin dari seantero cabang dan wilayah yang tumplek di Jombang, Jawa Timur. Gus Mus menyatakan tak sanggup memikul beban berat sebagai pemuncak kiai.
Memimpin organisasi kemasyarakatan Islam berpengikut terbesar di Tanah Air memanglah berat. Muktamar yang gaduh hujan protes dan nyaris adu jotos ketika membahas aturan pemilihan itu seolah-olah persekot rontoknya adab kaum sarungan ini—wabilkhusus dalam bermuktamar. Sederet kiai sepuh yang duduk di barisan terdepan tak lagi dihormati laiknya dalam organisasi keagamaan, yang takzim kepada kiai.
Pantas jika Gus Mus malu bercampur prihatin hingga tak tidur semalaman saat mengetahui kegaduhan muktamar. Ia tak segan mengungkapkan kerendahan hatinya: rela mencium kaki muktamirin agar menjaga akhlak yang luhur. Situasinya semakin gawat ketika ratusan peserta yang aspirasinya tak digubris mengancam menggelar muktamar tandingan.
Di Jombang, tempat NU didirikan oleh trio Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari, Wahab Chasbullah, dan Bisri Syansuri, seperti memaklumkan di sini pula jam'iyah ini seolah-olah siap diruntuhkan. Tangan-tangan kotor merekayasa pemenangan. Ada dugaan muktamar sengaja "dikondisikan" demi kepentingan politik lokal. Bau amis tebaran fulus menyengat nian. Pantas jika mantan Katib Am, Sekretaris Umum Malik Madani, lantang berteriak: inilah muktamar terburuk sepanjang sejarah NU.
Tadinya banyak yang menduga pengasuh pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah, yang gemar ngetwit itu memilih bersikap tawadu, rendah hati—fragmen yang lazim muncul di muktamar pertanda tak kemaruk jabatan. Tapi bujukan banyak kiai sepuh tak mampu menggoyahkan pendirian ulama yang gemar berpuisi ini. Padahal Gus Mus pantas menyandang amanat itu. Selain dipercaya sebagai Rais Am sementara sepeninggal Kiai Sahal Mahfudz, integritas Gus Mus tak diragukan. Ia teruji sebagai kiai yang betah memangku pesantrennya. Selain penguasaan ilmu alatnya sangat mumpuni (dia pernah studi syariah di Universitas Al-Azhar bareng sahabatnya, Abdurrahman "Gus Dur" Wahid), dia tak pernah berpolitik.
Rekam jejak Gus Mus sedikit berbeda dengan Kiai Haji Ma'ruf Amin, yang akhirnya ditunjuk menjadi Rais Am. Ahli fikih dari Tanara, Banten, ini punya irisan politik dan dekat dengan kekuasaan—sesuatu yang lazimnya dihindari kandidat Rais Am. Ia deklarator Partai Kebangkitan Bangsa, pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari PKB, dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden semasa Susilo Bambang Yudhoyono. Sebagai Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Pusat, Ma'ruf getol dengan stempel "syariahisasi", selain menjadi ketua dewan syariah di sejumlah perbankan syariah.
Drama yang melelahkan itu akhirnya berakhir di tangan duet Ma'ruf Amin-Said Aqil Siroj. Sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PBNU yang kembali terpilih, Said Aqil berjanji membenahi organisasi dan pendidikan tanpa meninggalkan ulama, serta revitalisasi aset NU yang terserak di mana-mana.
Revitalisasi akhlak tak boleh dilupakan. Kedua tokoh tersebut harus mampu menjaga tradisi organisasi yang menjadi kiblat moral bagi masyarakat dan penguasa ini. Organisasi yang bermakna kebangkitan ulama ini menyatakan perang tak cuma terhadap terorisme, tapi juga korupsi—fatwa NU: jenazah koruptor haram disalati.
Merawat tujuan luhur ini sungguh berat. Muktamar Jombang tak boleh dijadikan acuan runtuhnya keulamaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo