Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJAK awal sudah cetho welo-welo atawa terang-benderang: hanya Komisi Pemberantasan Korupsi yang berhak menyidik dugaan penilapan uang proyek simulator kemudi. Asas legalitas dan etika mengukuhkannya. Tapi, kalaupun ada keraguan, atau ada upaya mengaburkannya, semestinya kasus lain yang juga melibatkan Inspektur Jenderal Djoko Susilo dan sejumlah petinggi Kepolisian Republik Indonesia membulatkan keyakinan bahwa polisi memang berada pada posisi sarat konflik kepentingan.
Kasus lain itu berkaitan dengan pengadaan material pelat nomor kendaraan di Korps Lalu Lintas Markas Besar Polri pada 2011. Nilai proyek yang beriringan dengan pengadaan simulator kemudi ini Rp 782 miliar. Diduga ada penggelembungan berlipat-lipat harga perolehan material, dan miliaran rupiah mengalir ke sejumlah petinggi Polri. Selain mengistimewakan pengusaha Budi Susanto, petinggi Korps Lalu Lintas ditengarai mengatur agar orang-orang tertentu diuntungkan. Inspektur Jenderal Djoko Susilo merupakan penanggung jawab proyek.
Kasus itu, seperti kasus pengadaan simulator, menunjukkan betapa para petinggi Polri kini berada di kursi panas. Mereka menghadapi kemungkinan harus menjalani proses hukum dan bukan mustahil berakhir mendekam di bui. Sangat besar juga kemungkinannya, demi menyelamatkan diri masing-masing, mereka menggalang pembelaan atau upaya merintangi komisi antirasuah menangani pula kasus pelat nomor.
Sebagaimana halnya dalam kasus simulator, masalah serius yang harus mereka hadapi adalah pijakan etika. Untuk memahami hal ini, siapa pun tak dituntut sanggup bernalar njelimet dan ”tinggi”. Meminjam tagline dalam tayangan iklan satu produk minuman, ini tiada lain hanyalah perihal ”jeruk makan jeruk”. Jelas menggelikan bila polisi menyidik pelanggaran hukum yang dilakukan polisi juga—apalagi petingginya. Yang muncul pastilah syak wasangka: mustahil polisi bakal mengusut tuntas kasus yang mendera mereka sendiri.
Jika sejauh ini polisi berkeras merasa berhak menangani kasus simulator, bukan berarti polisi tak tahu-menahu prinsip yang sesungguhnya sangat mendasar itu. Mereka jelas sengaja berlagak pilon. Tentu saja, kepura-puraan yang terus mereka perlihatkan, dengan dalih mematuhi isi kesepakatan bersama kepolisian, kejaksaan, dan KPK pada Maret 2012, hanya akan berhasil sepanjang khalayak ramai atau publik tak lebih dari kumpulan orang bodoh.
Sudah berulang kali publik membuktikan diri tak seperti anggapan polisi. Dengan akal sehat, publik tetap bisa melihat secara kritis (mungkin juga mengekspresikan kemuakan terbuka terhadap) keculasan di balik langkah-langkah polisi. Termasuk dalam langkah-langkah itu bagaimana polisi begitu telanjang melanggar Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi—terutama pada ketentuan yang menyatakan KPK lebih berwenang menangani kasus korupsi yang kebetulan juga disidik kepolisian atau kejaksaan.
Kewarasan serupa itu sesungguhnya lebih penting ketimbang mengharapkan tindakan proaktif Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai atasan Kepala Polri. Seperti yang sudah-sudah, alih-alih memerintahkan Kepala Polri menyerahkan sepenuhnya kasus simulator kepada KPK, Yudhoyono, sang kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, memilih berlindung di balik alasan tak mau mencampuri urusan hukum. Presiden seolah-olah lupa bahwa dia berwenang memerintahkan Kepala Polri mematuhi hukum—sesuatu yang sama sekali bukan merupakan tindakan mencampuri substansi urusan hukum.
Presiden memang punya kewajiban menjelaskan dan membuktikan sejauh mana sebenarnya dia bersungguh-sungguh dengan tekadnya memerangi korupsi. Tapi, sampai hal itu benar-benar dia lakukan, segala sesuatunya ada di tangan polisi.
Pilihan tindakan yang bisa diambil polisi hanya dua. Pertama, bertahan dengan siasat yang sudah ketahuan tak bakal menyelamatkan semua orang; dan kedua, menghindari konflik kepentingan dengan mengibarkan bendera putih seraya menyerahkan kasus simulator, juga pelat nomor, kepada KPK.
Pilihan pertama bakal kian meremukkan citra Polri, yang sebenarnya sudah babak-belur. Pilihan kedua tidak hanya bakal menyelamatkan Polri, tapi juga negeri ini. Dengan pertimbangan yang melampaui kepentingan pribadi atau korps, tidak ada yang sulit pada dua pilihan itu.
berita terkait di halaman 30
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo