Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MARI bayangkan angka-angka ini. Sampai akhir tahun lalu, 173 kepala daerah atau wakilnya menjadi tersangka. Sebagian besar dijerat kasus korupsi. Dari jumlah itu, 17 orang adalah gubernur yang masih menjabat. Artinya, separuh dari 33 gubernur di Indonesia berstatus tersangka. Kini, setelah keluar putusan Mahkamah Konstitusi bahwa pemeriksaan kepala daerah tak perlu lagi izin presiden, bisa dibayangkan kerja besar yang harus dilakukan polisi dan kejaksaan. Semua perkara para pamong yang masih menggantung ini harus segera diproses dan dibawa ke pengadilan.
Kerja besar itulah yang harus diawasi. Sebelum putusan Mahkamah Konstitusi turun, pemeriksaan atas para pejabat itu selalu terganjal. Pasal 36 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mensyaratkan mereka hanya boleh diperiksa setelah izin presiden turun. Setelah Mahkamah menyatakan pasal-pasal tersebut kini tak berlaku, antrean tersangka itu harus segera diproses.
Jelas ini bukan perkara mudah. Banyak pejabat bertahun-tahun berstatus tersangka tanpa kemajuan proses hukumnya. Hal ini, misalnya, terjadi pada Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek. Meski sudah menjadi tersangka kasus korupsi sejak 2010, karena izin presiden tidak turun, Awang belum juga diadili. Mandeknya proses hukum ini dikhawatirkan memberi cukup waktu bagi para tersangka untuk menghilangkan jejak kejahatannya. Kejaksaan pun bakal makin sulit mengumpulkan bukti.
Putusan Mahkamah Konstitusi itu juga memperkecil peluang kejaksaan mengulur-ulur pemeriksaan dengan dalih menunggu izin presiden. Sering terjadi, permainan ulur waktu berujung menguapnya kasus—juga bau amis. Para tersangka pun bebas melenggang. Bahkan banyak di antara mereka sempat maju lagi ke pemilihan kepala daerah. Tak sedikit pula yang menang dalam pemilihan saat masih berstatus calon pesakitan.
Semua ”kekacauan” itu diharapkan berkurang setelah putusan Mahkamah turun. Tapi aturan hukum baru ini bukan tanpa risiko. Tiadanya ketentuan izin presiden membuat kekuasaan polisi dan jaksa jauh lebih besar saat menghadapi para pejabat daerah. Artinya, peluang menyalahgunakan kekuasaan pun makin terbuka.
Sudah banyak modus penyelewengan kekuasaan seperti itu yang terungkap. Yang paling umum adalah tawar-menawar dengan penyidik. Biasanya calon tersangka merayu penyidik agar dikenai pasal-pasal ancaman hukuman yang lebih ringan. Cara yang mirip modus ini adalah pemerasan. Penyidik mengancam tersangka dengan pasal lebih berat jika tak diberi imbalan uang. Ujung kedua modus ini sama, yaitu menjadikan tersangka sebagai ”ATM berjalan” bagi para penyidik.
Potensi penyalahgunaan lain adalah memanfaatkan kewenangan memeriksa untuk kepentingan politik. Misalnya menjegal pejabat yang hendak maju dalam pemilu daerah demi keuntungan lawannya. Modus ini bahkan lebih mudah dilakukan karena pejabat yang diperiksa tak harus terbukti benar-benar terlibat korupsi. Pemanggilan berkali-kali untuk diperiksa sudah cukup merusak reputasi sang pejabat yang hendak bertarung memperebutkan suara pemilih.
Agar penyalahgunaan seperti itu tak terjadi, pengawasan bagi para penyidik harus diperketat. Mereka yang melakukan pelanggaran pun tak cukup hanya dihukum dengan sanksi pelanggaran kode etik profesi. Jika mereka terbukti memainkan kewenangannya, efek jera harus ditimbulkan dengan menjatuhkan hukuman berat.
berita terkait di halaman 84
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo