Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langkah politik Prabowo Subianto membangun koalisi besar yang berujung bagi-bagi kursi menteri merisaukan. Lebih baik ia menyiapkan kuda-kuda menghadapi kondisi ekonomi yang berpotensi memburuk ketimbang terlalu dini mengamankan kekuasaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aroma politik dagang sapi kental tercium dalam proses penyusunan kabinet Prabowo. Dia seperti sedang menjiplak cara Joko Widodo membangun koalisi besar pada periode kedua pemerintahannya. Meski baru akan dilantik pada 20 Oktober mendatang, Ketua Umum Partai Gerindra itu sudah terlihat aktif merangkul banyak partai untuk bergabung ke koalisinya, termasuk rivalnya dalam pemilu lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Persatuan Pembangunan dalam proses masuk koalisi Prabowo. Rencana pertemuan dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, sebagai bagian dari upaya mengajak masuk dalam koalisi, juga terus menggelinding menjadi isu hangat. Proses negosiasi yang cukup alot tersebut menimbulkan wacana menambah jumlah kementerian dari 34 menjadi 40.
Langkah Prabowo merangkul para rival itu tentu bertujuan memuluskan pemerintahan. Pemerintahan baru nanti membutuhkan dukungan mayoritas di Dewan Perwakilan Rakyat agar program kerjanya berjalan mulus. Namun, meski diterima logika politik, upaya mengakomodasi rival seperti ini bisa mencederai nilai demokrasi.
Pemerintahan baru sangat dinantikan gebrakannya untuk mewujudkan Indonesia yang maju dan berkeadilan. Ketika politik dagang sapi terjadi, gebrakan ini sulit diharapkan akan muncul. Dengan mayoritas partai politik di DPR masuk koalisi besar pemerintah, fungsi pengawasan legislatif pun akan berjalan tak optimal. Partai politik di DPR akan tersandera oleh kepentingan eksekutif.
Prabowo seharusnya tak terjerembap pada kesalahan yang dibuat Jokowi. Di negara yang mengusung sistem presidensial, dia memiliki kekuasaan mutlak menentukan kabinet dan tidak tergiur merangkul lawan-lawan politiknya. Oposisi atau partai politik di luar pemerintahan dibutuhkan sebagai penyeimbang.
Prabowo, dengan hak prerogatifnya, masih memiliki kesempatan membentuk kabinet yang baik. Lupakan istilah kabinet zaken (kabinet karya) yang memang tak pernah benar-benar terwujud secara ideal dalam politik Indonesia. Membuat dikotomi antara kader partai dan profesional sudah tidak relevan lagi.
Dari kabinet Jokowi, kita bisa melihat banyak menteri yang berasal dari luar partai yang juga berkelakuan lancung. Ada pula akademikus yang direkrut menjadi menteri, ujungnya menjadi operator politik Istana. Di sisi lain, ada pula menteri yang terafiliasi dengan partai, tapi memiliki kinerja cukup bagus atau setidaknya tidak terlalu merusak.
Di era sekarang, ketika presiden terpilih tak mungkin melepaskan diri dari jerat kepartaian, memilih menteri tanpa melibatkan partai pendukung mustahil dilakukan. Karena itu, kabinet zaken mungkin perlu mendapat pemaknaan baru. Dia harus membalik praktik yang selama ini ada, yakni dengan melihat dahulu keahliannya, baru partainya. Kabinet harus diisi orang-orang mumpuni, berpikir rasional, dan bukan mereka yang bermental korup.
Kabinet yang profesional, meski berbasis partai, dibutuhkan mengingat tantangan yang akan dihadapi Indonesia. Kita sedang berada di masa sulit dalam ketidakpastian global. Indonesia, seperti semua negara, mau tak mau akan terkena imbasnya, bahkan bisa mendapat pukulan lebih besar karena dosa-dosa masa lalu.
Pemerintahan Prabowo akan mewarisi masalah ekonomi yang serius. Pengaruh kebijakan sembrono di era Jokowi akan mulai dirasakan akibatnya pada masa pemerintahannya. Beban utang pemerintah dan BUMN bisa sewaktu-waktu meledak. Kurs rupiah yang terus merosot di atas Rp 16 ribu per dolar Amerika Serikat bisa berubah menjadi pukulan berat.
Karena itu, fokus pemerintahan mendatang harus tertuju pada penyelamatan ekonomi agar tidak tergulung krisis. Prabowo harus sangat serius melakukannya. Ia tak boleh lupa: Soeharto, mertuanya, dulu jatuh karena dipicu krisis moneter.
Tak hanya soal kabinet, Prabowo juga mesti menghentikan semua warisan proyek Jokowi yang bermasalah serta membebani keuangan negara, seperti Ibu Kota Negara Nusantara dan proyek kereta cepat. Dia juga tak perlu ragu mengoreksi program populis yang pernah dijanjikan saat kampanye jika itu merusak stabilitas makroekonomi, seperti program makan siang gratis.