Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan merestui anak dan menantu menjadi calon kepala daerah menandakan Presiden Joko Widodo telah tertular virus nepotisme dan politik dinasti. Ia mengulangi kesalahan para elite politik yang mempertahankan kekuasaan dengan cara menempatkan sanak-familinya pada jabatan strategis.
Anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon Wali Kota Solo, tempat Jokowi mulai meniti karier politiknya. Gibran berpeluang besar menjadi calon wali kota tanpa lawan. Sebab, semua partai, kecuali Partai Keadilan Sejahtera, kompak mendukung dia. Tanpa pengaruh Jokowi, Gibran yang “masih hijau” dalam politik sulit mendapatkan dukungan sebanyak itu.
Pada awalnya, jalan politik Gibran tak mulus. Pengurus daerah PDI Perjuangan sempat menyokong Achmad Purnomo, wakil wali kota saat ini, untuk menjadi calon Wali Kota Solo. Tapi pengurus pusat partai banteng meredam riak itu. Yang tidak elok, Purnomo mendapat kabar dia gagal memperoleh rekomendasi partai justru dari Jokowi, ketika diundang ke Istana Kepresidenan, Jakarta. Sebagai fasilitas negara, milik semua rakyat, Istana Kepresidenan seharusnya tak menjadi tempat membicarakan urusan politik partai tertentu.
Jokowi seharusnya menjadi model bagi anak dan menantunya yang hendak menempuh suluk politik. Jokowi menjadi tokoh fenomenal karena mematahkan mitos bahwa sirkulasi politik hanya bisa berpusar di lingkaran elite. Jokowi yang bukan “siapa-siapa” berhasil menembus dinding kekuasaan yang lama kedap. Bermodal reputasi dan popularitas, setelah memimpin Solo, Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta, lalu menjadi Presiden Republik Indonesia pada 2014.
Kala itu, sempat bersemi optimisme bahwa sistem demokrasi di Indonesia akan terus membuka jalan bagi putra-putri terbaik negeri ini. Sayangnya, di periode kedua kepemimpinannya, Jokowi sendiri yang memadamkan optimisme itu. Tak hanya di Solo, Jokowi merestui menantunya yang masih belia, Bobby Afif Nasution, menjadi calon Wali Kota Medan.
Sampai titik ini, Jokowi tak hanya mendorong keluarganya mengambil jalan pintas, serta membiarkan pemilih lokal kehilangan kesempatan mendapatkan pemimpin yang lebih berpengalaman. Jokowi juga sulit dibedakan dengan tokoh lain yang mulai membangun dinasti politiknya. Selain Jokowi, misalnya, ada Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang merestui putrinya, Siti Nur Azizah, menjadi calon Wali Kota Tangerang Selatan, Banten. Lalu, Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung mendorong putranya, Hanindhito Himawan Pramana, menjadi calon Bupati Kediri, Jawa Timur. Di luar Jawa, sejumlah kepala daerah juga menyokong sanak-familinya bertarung dalam pilkada serentak tahun ini. Bila menang, mereka bakal menambah panjang daftar 117 kepala dan wakil kepala daerah dari “dinasti politik” dalam lima tahun terakhir.
Andai saja Jokowi menahan diri untuk tidak mencalonkan sanak-familnya ketika masih berkuasa, dia tak hanya akan terbebas dari tuduhan membangun dinasti politik. Lebih jauh lagi, Jokowi bakal dikenang sebagai pemimpin yang turut membangun demokrasi Indonesia—khususnya sistem sirkulasi politik—yang lebih adil dan terbuka bagi semua warga negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo