POLITIK bukanlah permainan saya. Hati manusia adalah permainan
saya." Itu kata-kata Richard Wright dalam American Hunger --
bagian lanjutan dari kisah otobiografisnya yang terbit 17 tahun
setelah ia meninggal di Paris, 28 Nopember 1960. Kesombongankah
yang tersembunyi di balik kalimat itu? Mungkin. Richard Wright
merasa ia telah membuktikannya dengan hidupnya.
Perjalanan hidup itu agaknya harus dimulai dari kakek dan
neneknya. Keduanya budak negro di Amerika bagian selatan.
Richard adalah anak bebas, tapi dengan ruang yang muram karena
ia anak hitam di tepi sungai Mississippi. Akhirnya ia melepaskan
diri. Seperti ditulisnya di bagian pertama otobiografinya yang
terbit di tahun 1945, Black Boy, ia menuju ke Utara, dengan
harapan kabur bahwa di sana "orang akan mampu menghadapi orang
lain tanpa ketakutan atau rasa malu."
Ia sampai di kota Chicago. Di sinilah bagian pokok dari American
Hunger berlangsung. Namun jika ada bagian yang menarik bagi
pembaca Indonesia, itu adalah pengalamannya dengan Partai
Komunis Amerika. Akhirnya orang hitam yang tak merasa betah di
bawah loteng kehidupan orang putih ini seperti mendapatkan apa
yang tak pernah ditemuinya sebelumnya. Ia masuk partai itu di
tahun 1932.
Cerita selanjutnya, seperti sudah dikenal dalam buku The God
That Failed yang pernah di-bahasa-indonesia-kan, adalah
kekecewaan. Ia ternyata bukan orang yang cocok untuk Partai.
Potongannya lebih seorang intelektuil, yang "individualis", yang
"ngomong seperti buku". Rasa serba curiga dan keketatan yang
meliputi kehidupan Partai Komunis Amerika menyebabkan ia
meninggalkan partai itu di tahun 1936. Untuk selamanya. Tapi
dalam American Hunger ia tidak menghukum kerinduan dan kebutuhan
orang untuk berada dalam suatu gerakan politik. Di tahun 1955
Richard Wright mengunjungi Indonesia, untuk menyaksikan
Konferensi Asia Afrika di Bandung. Hasilnya adalah The Co/or
Curtain, laporan dari pertemuan itu -- suatu kesibukan yang
mungkin tak sepenuhnya ia fahami, tapi ia coba timbang dengan
baik maknanya.
"Politik bukanlah permainan saya. Hati manusia adalah permainan
saya." Namun ia menambahkan: "Tapi hanya dalam wilayah
politiklah saya dapat menyaksikan dalamnya hati manusia."
Mungkinkah kita merehabilitir pengertian "politik"?
Tak semua orang adalah anak negro melarat di tepi sungai
Mississippi, tapi bayangkan biia kita kebetulan adalah satu dari
mereka yang merasa diperlakukan tak adil dan ingin merubah
situasi itu. Atau bayangkan bila kita punya program atau rencana
atau cita-cita, yang menyangkut kepentingan orang banyak dan
karenanya butuh dukungan mereka. Di situ kita memerlukan
sesuatu, yang menyebabkan suara kita diterima dan keadaan
diperbaiki. Dengan kata lain, kita perlu sejenis "kegiatan
politik" -- betapapun bersahaja dan betapapun damai tampaknya.
Sebab sebuah negeri bukanlah sebuah asrama tentara atau calon
biksu. Hubungan yang timbul antara orang yang di atas dengan
yang di bawah tidak bisa berlangsung hanya berdasarkan hubungan
kekuasaan. Program keluarga berencana tidak bisa berhasil dengan
menempelkan fotokopi instruksi. Rencana pemeliharaan lingkungan
tidak bisa hanya dianjurkan sekali lewat pidato 17 Agustus. Juga
nasib petani atau tukang becak tidak bisa jadi lebih tertolong
hanya dengan mengerahkan para pamong dan pejabat. Hubungan
antara "atas" dengan "bawah" memerlukan suatu proses yang tak
cuma bisa diselesaikan dengan sikap seorang mandor besar.
Mungkin kita perlu politisi .....
Sayangnya seorang politikus, di lingkungan kita kini, memang
tidak populer. Barangkali karena kita percaya, bahwa kita cuma
butuh teknokrat, orang yang berurusan dengan pemecahan masalah,
dan tak perlu berurusan dengan orang-orang yang terlibat dalam
masalah serta pemecahannya itu....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini