Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
DKI Jakarta menjadi kota dengan tingkat polusi udara paling buruk di dunia.
Pemerintah pusat dan provinsi belum mengambil langkah yang komprehensif dan terukur.
Perlu menggeser isu iklim menjadi bagian dari prioritas penanganan kota.
Nabhan Aiqani
Peneliti Bisnis dan HAM Setara Institute
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DKI Jakarta kembali menjadi sorotan setelah Air Quality Index (AQI) menempatkan Ibu Kota sebagai kota dengan tingkat polusi udara paling buruk di dunia atau setidaknya konsisten masuk dalam kategori buruk (AQI 201-300). Nilai ambang batas PM 2,5 (ambang partikel udara berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron) yang masih bisa ditoleransi sebesar 65 mikrogram per meter kubik justru melonjak tinggi dalam sepekan terakhir. Tercatat pada 15, 18, dan 20 Juni lalu masing-masing berada pada angka 148, 147, dan 100 mikrogram per meter kubik (tidak sehat). Kondisi ini dapat memicu berbagai dampak buruk, terutama terhadap masalah kesehatan dan penyakit yang berhubungan dengan saluran pernapasan, paru-paru, serta jantung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di media sosial, tidak sedikit orang yang menyampaikan harapan akan birunya langit Jakarta, hal yang sempat terwujud di awal penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada masa pandemi Covid-19, tapi sayangnya tidak berlanjut. Yang terjadi justru kini muncul "revenge pollution", peningkatan emisi akibat akumulasi aktivitas ekonomi ketika pelonggaran dan upaya untuk pemulihan ekonomi dilanjutkan agar resesi tidak semakin dalam.
Penanganannya seolah-olah bergerak statis. Pemerintah pusat ataupun provinsi belum mengambil langkah komprehensif serta terukur atas persoalan yang menahun ini, bahkan terkesan defensif terhadap kritik dan putusan hukum. Padahal konstitusi dan undang-undang sudah mengamanatkan komitmen pemenuhan hak asasi manusia, khususnya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Jika tidak ingin disebut sebagai pembangkangan konstitusi, pada tahap ini negara abai pada pemenuhan hak asasi masyarakat.
Untuk mengurai persoalan ini memang bukan perkara mudah. Ada perubahan paradigma dan kultur masyarakat yang mengiringi, selain perkara hukum dan regulasi. Prakondisi demikian membutuhkan kemauan politik dan kohesi sosial-politik yang menyerap aspirasi masyarakat serta kontrol masyarakat sipil sebagai bagian penting dari pembangunan.
Belanda, misalnya, berubah menjadi negara ramah lingkungan dengan menjadikan sepeda sebagai transportasi sentral masyarakat. Ini berangkat dari gugatan para aktivis pada 1960-1970-an atas banyaknya kecelakaan bermotor dengan korban anak-anak akibat minimnya fasilitas bermain dan ruang terbuka karena sebagian besar area sudah berupa jalan.
Pemerintah Indonesia malah menunjukkan lemahnya komitmen mereka atas kesehatan udara ini. Hal itu tampak dari sikap mereka atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 16 September 2021. Pengadilan memenangkan gugatan Gerakan Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibu Kota) yang menuntut pemerintah mengendalikan pencemaran udara serta memerintahkan pemerintah pusat dan Jakarta mengambil sejumlah tindakan.
Alih-alih memenuhi putusan itu, pemerintah pusat justru mengajukan banding. Sebaliknya, Pemerintah DKI Jakarta, dalam hal ini Gubernur Anies Baswedan, tidak mengajukan banding sehingga wajib menjalankan putusan pengadilan. Perbedaan pilihan dan respons itu menunjukkan tidak sinkronnya pandangan pemerintah pusat dan daerah dalam mengatasi masalah kualitas udara.
Selain penguatan sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah DKI, setidaknya ada tiga hal yang menjadi catatan penting dalam penanganan polusi udara. Pertama, buruknya kualitas udara di Jakarta dipengaruhi oleh dua faktor utama, yakni pembangkit listrik dan transportasi. Jakarta sudah memiliki Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran udara dan Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara. Dua regulasi ini sejatinya sudah menyasar pada dua faktor tadi. Namun kebijakan ini tidak berkesinambungan dan akan berubah seiring dengan pergantian gubernur. Jakarta harus bergerak mencontoh Meksiko, Beijing, dan New Delhi dalam periode 20-30 tahun terakhir yang mampu menurunkan ambang batas PM 2,5 hingga level sedang setelah sebelumnya dikenal sebagai kota dengan polusi udara sangat berbahaya.
Kedua, aspek hukum dan regulasi tidak dibarengi dengan implementasi, pengawasan, dan evaluasi yang menyeluruh. Selama ini pemerintah daerah tidak mengawasi dan memantau pelaksanaannya secara ketat, misalnya dengan tindakan tegas atau pencabutan izin terhadap perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan nilai maksimum baku mutu emisi.
Baru-baru ini Dinas Lingkungan Hidup DKI dapat mencabut izin lingkungan PT Karya Citra Nusantara karena pencemaran lingkungan akibat aktivitas bongkar-muat batu bara perusahaan itu di Marunda. Pemerintah DKI perlu meneruskan langkah audit lingkungan sebagai kebijakan inheren dan penerapan pertanggungjawaban mutlak terhadap perusahaan-perusahaan lain yang diduga melanggar izin lingkungan.
Pada 2019, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menemukan setidaknya 10 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan berbagai aktivitas industri di daerah penyangga turut menyumbang buruknya kualitas udara di Jakarta. Pembenahan kualitas udara bisa dimulai dari sini melalui sinergi kebijakan pemerintah pusat dan provinsi dalam penanganan perusahaan penyumbang emisi di luar Jakarta atau emisi lintas batas.
Ketiga, dua aspek utama yang memicu polusi udara berkaitan dengan bisnis PLTU dan transportasi. Untuk mengatasinya perlu perubahan paradigma ke bisnis yang ramah hak asasi dengan menempatkan manusia dan keberlanjutan lingkungan sebagai inti dari tindakan mereka.
Fenomena polusi udara DKI begitu kasatmata dan seharusnya menjadi momentum untuk mengedepankan regulasi tentang uji tuntas hak asasi manusia dan lingkungan. Pemerintah sudah harus menempatkan masalah perubahan iklim dan polusi udara setara dengan prioritas lain, seperti penanggulangan banjir, kemacetan, dan tata kota.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo