Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HASIL penyelidikan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) tentang jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501—pada 28 Desember 2014—memupus faktor "cuaca" yang awalnya keras diperkirakan sebagai musabab musibah yang menewaskan 162 penumpang dan kru itu. Pada 1 Desember lalu, Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono menyatakan penyebab kecelakaan bukan cuaca atau kesalahan manusia.
Dia menyebut lima faktor dominan pemicu kecelakaan—yang hampir semuanya merujuk pada gangguan dan kerusakan pesawat. Faktor-faktor itu adalah kerusakan rudder travel limiter (RTL) atau bagian sistem kemudi pengatur derajat untuk membelokkan pesawat, perawatan dan analisis di perusahaan yang tidak optimal, adanya indikasi ketidaksesuaian prosedur penyelesaian oleh pilot ketika RTL bermasalah, terputusnya arus listrik pada komputer autopilot pesawat (flight augmentation computer), serta pengendalian pesawat secara manual oleh pilot.
Boleh jadi tak ada kesempurnaan mutlak dalam proses penerbangan dari berbagai aspek: mesin sempurna, tapi cuaca kacau-balau; cuaca beres, mesin mendadak batuk; mesin dan pesawat sempurna, pilot kurang awas karena kelelahan terbang. Tapi satu hal yang mesti dipastikan—dan tak bisa ditawar—kesempurnaannya adalah upaya perusahaan penerbangan memastikan keselamatan penumpang.
Presiden Direktur AirAsia Indonesia, Sunu Widyatmoko, memastikan ada tekad itu tatkala dia menyatakan senantiasa berdedikasi bagi standar keselamatan level tertinggi pada setiap penerbangan pesawat perusahaan yang dia pimpin. Sayang, "level tertinggi" keselamatan itu tidak tecermin dalam kasus pesawat AirAsia QZ8501—setidaknya bila merujuk pada hasil kerja Komite. Komponen RTL yang menjadi pemicu awal jatuhnya pesawat sudah bermasalah 23 kali sepanjang 2014. Pesawat tetap terbang, padahal pada Desember 2014 sampai sebelum kecelakaan, komponen yang sama bermasalah sampai sembilan kali.
Hasil investigasi KNKT yang cepat—kurang dari setahun—sungguh perlu diapresiasi. Penghargaan atas kerja Komite harus diteruskan dalam tindak lanjut otoritas dunia penerbangan Indonesia. Salah satu otoritas utama tentu Departemen Perhubungan.
Menteri Perhubungan Ignasius Jonan menyatakan hasil investigasi Komite akan menjadi rujukan pemerintah menambah sanksi bagi AirAsia Indonesia. Namun kita perlu mengingatkan Menteri Jonan bahwa yang lebih penting dari menghukum perusahaan yang bersalah adalah mewajibkan semua industri penerbangan di Tanah Air menempatkan kembali keselamatan penumpang pada prioritas pertama.
Hal ini makin mendesak karena, sejak tumbuhnya penerbangan tarif murah (low-cost carrier), persaingan bisnis penerbangan Indonesia bukan main ketatnya. Salah satu kiat mereka memenangi kompetisi adalah penerbangan murah. Strategi bisnis tentu boleh-boleh saja. Dengan syarat mutlak: tak ada kompromi pada ihwal keselamatan penumpang. Fakta penyunatan biaya pemeliharaan pesawat—demi penghematan—bukan cerita baru dalam industri penerbangan di Indonesia.
Sudah saatnya menghindari cara pandang sekadar "perlu banyak belajar dari tragedi QZ8501". Kita justru harus belajar menghindari tragedi, bukan menantikan tragedi untuk belajar menjunjung keselamatan setiap nyawa dalam penerbangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo