Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIREKTUR Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito mengundurkan diri, tapi persoalan pajak tidak selesai di situ. Ia memang gagal mencapai target penerimaan pajak tahun ini, namun siapa pun penggantinya hampir pasti tak akan mampu mencapai target itu. Satu masalah genting yang menunggu pemerintah akibat tak tercapainya target pajak itu: pembengkakan defisit anggaran.
Target pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015 tergolong tinggi, mengingat kondisi perekonomian Indonesia sedang memburuk. Sigit dan jajarannya ditargetkan meraup Rp 1.274 triliun. Padahal, sampai 22 November 2015, realisasi pajak baru Rp 829 triliun atau 64 persen dari target. Sigit mundur karena tak yakin bisa mencapai target minimal sebesar 85 persen. Paling banter, dengan segala upaya, pemerintah masih optimistis bisa mencapai angka 87 persen atau Rp 1.108 triliun sampai akhir tahun.
Dengan pencapaian sebesar itu pun defisit anggaran pasti membengkak dari yang direncanakan sebesar 1,9 persen atau Rp 222,5 triliun. Pemerintah memperkirakan defisit pada akhir tahun mencapai 2,59 persen atau Rp 303 triliun. Angka ini tentu mengkhawatirkan karena akan mempengaruhi arus kas pemerintah.
Sayangnya, ruang untuk mengatasi defisit tak terlalu luas. Salah satu pilihan adalah berutang kepada lembaga multilateral, seperti Bank Dunia atau Bank Pembangunan Asia. Bisa juga dengan menerbitkan surat berharga negara (SBN). Namun risiko yang dihadapi pemerintah tidak kecil.
Posisi utang luar negeri Indonesia sudah mencapai tingkat mengkhawatirkan. Debt service ratio (DSR) tahunan pada triwulan III 2015 sudah 57,5 persen. Rasio total pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri relatif terhadap total penerimaan transaksi berjalan ini hampir dua kali lipat dari batas wajar yang ditetapkan Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 30-33 persen.
Jika pemerintah berencana menutup defisit dengan utang, bisa dipastikan angka DSR akan bergerak naik ke posisi yang membahayakan. Saat ini, utang luar negeri Indonesia mencapai US$ 302,4 miliar. Utang luar negeri Indonesia per September ini sebetulnya turun US$ 2,1 miliar, tapi angka DSR tetap naik karena ekspor melemah.
Opsi menerbitkan surat berharga negara juga tak bebas masalah. Jumlah SBN bruto yang diterbitkan pemerintah sampai November sudah mencapai Rp 493,4 triliun. Padahal jatah sampai akhir tahun sebesar Rp 499,6 triliun. Artinya, surat utang negara yang tersisa yang bisa diterbitkan pemerintah tinggal Rp 6,2 triliun. Angka ini jelas tak cukup untuk menutup defisit.
Pilihan lain adalah menggunakan sisa anggaran lebih (SAL) 2015, yang saat ini berada di angka Rp 55,6 triliun. Pilihan ini pun sulit lantaran dana itu merupakan "bantalan" pemerintah untuk menjaga arus kas. Pemerintah harus menjaga SAL berada di level aman agar sejumlah pos pengeluaran rutin, seperti gaji pegawai, bisa dibayar tepat waktu.
Pemerintah juga bisa menaikkan setoran dividen perusahaan negara. Itu pun bukan alternatif yang bagus. Selain kemungkinan perolehan laba perusahaan negara pada 2015 turun karena pelemahan ekonomi, menaikkan setoran dividen akan menyulitkan gerak perusahaan negara itu.
Pada akhirnya, pilihan yang paling masuk akal adalah memangkas belanja. Efisiensi anggaran mutlak harus dilakukan. Praktek menghabiskan anggaran di ujung tahun mesti disikat habis. Jika anggaran belanja bisa ditekan, defisit bisa diturunkan dan bahaya akan terkikis dengan sendirinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo