Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada sesat pikir pemerintah dalam menggelar pemilihan kepala daerah serentak pada pekan ini. Pertama, perhelatan besar ini namanya saja "pilkada serentak", tapi kenyataannya hanya sembilan daerah yang menggelar pemilihan gubernur dan bupati atau wali kota secara berbarengan. Sebanyak 260 daerah lain sebetulnya hanya menggelar pemilihan bupati atau wali kota, sehingga akan menggelar pemilihan gubernur secara terpisah.
Kedua, karena dianggap harus serentak, semua hal seakan-akan dikerahkan agar keserentakan itu terjadi. Pemaksaan ini membuat banyak daerah yang tak punya tenaga berpengalaman dalam menangani pilkada jadi kelabakan. Hingga pekan lalu, masih ada daerah yang baru menyebar sebagian surat suara dan beberapa daerah belum mengguyurkan seluruh dana pilkada. Ini belum termasuk seratus lebih sengketa yang diajukan pasangan calon kepala daerah yang tak terima atas penetapan Komisi Pemilihan Umum, yang dapat membuat pilkada tertunda atau, bila pilkada tetap digelar, terpaksa diulang bila gugatan mereka diterima.
Pemerintah harus menyadari bahwa keserentakan bukanlah tujuan utama perhelatan ini. Pilkada digelar untuk mendapatkan kepala daerah terbaik pilihan rakyat. Keserentakan hanyalah jalan alternatif untuk mempermudah rakyat menggunakan hak pilihnya dan menekan ongkos penyelenggaraannya. Alasan terakhir inilah yang mula-mula menjadi tujuan utama pemerintah memutuskan pilkada serentak. Tapi alasan itu pun tak akan terwujud dalam pilkada serentak kali ini.
KPU dan Kementerian Dalam Negeri sebelumnya memperkirakan pemilihan serentak akan menghemat biaya hingga 50 persen. Padahal biaya terbesar sebenarnya adalah honor petugas, yakni sekitar 60 persen dari total biaya pilkada. Mereka dibayar per penyelenggaraan pemilihan. Bila suatu daerah menggelar pemilihan gubernur dan bupati secara terpisah, mereka akan dibayar dua kali. Tapi, bila pemilihan gubernur dan bupati itu digelar serentak, mereka praktis hanya dibayar satu kali. Di situlah penghematan yang cukup besar sebetulnya terjadi. Namun hanya sembilan provinsi yang menggelar pemilihan serentak pada Desember ini—memilih gubernur sekaligus bupati atau wali kota—sehingga penghematan yang terjadi paling banter hanya di provinsi tersebut.
Biaya pilkada serentak kali ini bahkan jadi lebih mahal karena inflasi dan tambahan biaya untuk calon kepala daerah, yang sebelumnya tidak ada. Biaya tambahan itu adalah berbagai pengeluaran untuk kampanye, dari debat publik para calon, iklan di media massa, pengadaan alat peraga, hingga pembuatan pamflet.
Lantas apakah pilkada serentak ini memperbaiki kualitas demokrasi? Nyatanya tidak juga. Masih ada orang yang memalsukan dokumen dan dengan berstatus tersangka mencoba maju sebagai calon kepala daerah. Badan Pengawas Pemilihan Umum juga mengendus dugaan politik uang di beberapa daerah.
Pada September lalu, kami mengingatkan bahwa pemerintah perlu mengkaji betul rencana pilkada serentak ini. Jangan sampai kualitas calon pemimpin daerah dikorbankan hanya demi efisiensi. Kami juga mengingatkan kemungkinan munculnya konflik masif secara serentak. Selain itu, mengingat hampir semua pemilihan berujung pada gugatan, tak terbayangkan betapa banyaknya jumlah gugatan hukum yang akan diajukan pada sengketa pemilihan dalam periode bersamaan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo