Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Promosi Untung Budiharto melanggengkan praktik impunitas.
Keputusan Panglima TNI Andika Perkasa melukai keadilan bagi keluarga korban penculikan.
Presiden Jokowi semakin mengkhianati nilai humanisme universal yang dulu ia gembar-gemborkan.
Pengangkatan Mayor Jenderal Untung Budiharto sebagai Panglima Kodam Jaya menjadi kabar buruk bagi penegakan hak asasi manusia (HAM). Promosi Untung, yang punya rekam jejak kelam di masa silam, akan semakin melanggengkan praktik impunitas di negeri ini.
Padahal apa yang pernah dilakoni Untung bukanlah perkara sepele. Ia tercatat sebagai anggota Tim Mawar Kopassus, yang menculik dan menyiksa para aktivis prodemokrasi selama periode 1997-1998. Sebagian besar dari mereka bahkan tak pernah kembali hingga sekarang. Keputusan Panglima TNI Andika Perkasa mengangkat Untung belum lama ini jelas melukai keadilan bagi keluarga korban.
Pendekatan kolegial dalam memilih pejabat militer ini juga menabrak Undang-Undang TNI. Sejatinya, pengembangan TNI harus dibangun secara profesional dengan tetap mengacu pada nilai dan prinsip demokrasi serta supremasi sipil dan HAM. Maka, sulit kita bayangkan: bagaimana mungkin orang yang pernah terlibat dalam kekerasan dan penghilangan paksa sejumlah aktivis akan menghormati nilai-nilai universal dalam penegakan HAM.
Sejak awal, TNI memang selalu menutup-nutupi penghilangan paksa tersebut. Institusi tempat Untung berkarier ini juga tidak pernah menghormati putusan pengadilan. Padahal Untung bersama rekan-rekannya pernah divonis bersalah di pengadilan militer tingkat pertama maupun banding, dengan sanksi pidana dan pemecatan. Alih-alih dipecat, karier Untung malah terus menanjak.
Rekam jejak jelas bukan pertimbangan utama dalam mempromosikan Untung. Lebih dari itu, langkah kebablasan ini sekaligus menunjukkan bahwa Presiden Joko Widodo semakin mengangkangi nilai-nilai humanisme universal yang ia gembar-gemborkan semasa kampanye. Janji Jokowi di depan keluarga korban untuk menuntaskan kasus penculikan hanya omong kosong belaka.
Keputusan Jokowi merangkul Prabowo sebagai Menteri Pertahanan sebenarnya sudah menunjukkan gelagat bahwa ia tidak peduli pada kasus penghilangan orang secara paksa, juga terhadap pelanggaran HAM berat lainnya. Pengangkatan Untung kian menguatkan kecenderungan itu.
Sadar bukan berlatar belakang militer ataupun petinggi partai, Jokowi terus berusaha merangkul banyak orang, tanpa peduli rekam jejak mereka. Jokowi tengah memainkan politik keseimbangan demi mempertahankan kekuasaannya. Meski semua itu bertolak belakang dengan janji kampanyenya. Ia bahkan terkesan tak peduli bila politik akomodasi itu telah menyakiti hati korban pelanggaran HAM.
Pilihan politik Jokowi itu jelas pukulan pahit bagi para korban dan keluarganya. Pengangkatan Untung semakin membuat mereka kian terabaikan. Alih-alih menghadirkan keadilan bagi keluarga korban penculikan, pemerintahan Jokowi cenderung memberi kekebalan hukum bagi para pelaku kekerasan. Penyelesaian kasus hukum bagi para pelanggar HAM sudah pasti akan jalan di tempat.
Para aktivis yang dulu menyokong Jokowi tak lepas dari malapetaka ini. Mereka sepantasnya malu bila dukungan mereka dalam mendongkrak popularitas Jokowi telah dimanipulasi oleh kepentingan segelintir elite politik. Sayangnya, banyak dari mereka yang terbuai dan kini tertutup hatinya—terutama setelah merasakan empuknya kursi kekuasaan.
Apa yang dipertontonkan Jokowi dan TNI adalah ironi dalam penegakan HAM di Tanah Air. Pemberian impunitas itu menunjukkan negara telah gagal dalam menghormati dan memenuhi hak asasi manusia, khususnya hak korban dan keluarganya yang telah lama terenggut dalam menanti keadilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo