Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Putusan Kolot Mahkamah Konstitusi

Undang-Undang Antipenodaan Agama tetap dipertahankan. Padahal sejarah peraturan perundangan itu mensyaratkan perbaikan.

26 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEPUTUSAN Mahkamah Konstitusi memperlihatkan betapa mencorongnya paternalisme negara manakala berhadap-hadapan dengan masalah keragaman agama. Delapan hakim konstitusi-plus seorang hakim, Maria Farida Indrati, yang menyatakan dissenting opinion-Senin pekan lalu menetapkan menolak gugatan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penodaan dan/atau Penistaan Agama.

Ini jelas kabar buruk. Undang-undang itu bukan saja harus ditolak karena merupakan produk zaman baheula di era Orde Lama, tapi payung hukum tersebut memang dilahirkan melalui penetapan presiden yang sarat kelemahan. Pada 1963-1969, di masa demokrasi terpimpin itu, merujuk pada pendapat hakim Maria Farida yang kami setujui argumentasinya, terdapat 169 penetapan presiden yang berlaku, termasuk soal penodaan agama.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara atau MPRS bahkan menyatakan banyak hal yang tak tepat sehingga harus ada peninjauan kembali terhadap penetapan presiden tersebut. Pada 1969, lahir beleid bahwa beberapa penetapan dan peraturan presiden menjadi undang-undang. Di situ terdapat lampiran tentang penodaan agama yang berlaku sebagai undang-undang. Namun ada syaratnya: harus diperbaiki, disempurnakan, dan menjadi bahan pembentukan undang-undang berikutnya.

Faktanya, hingga kini tak pernah ada perbaikan dan penyempurnaan. Padahal penetapan presiden yang berakibat sama telah dihapus di era reformasi, seperti tindak pidana subversif. Dengan keputusan itu, negara bukan saja tetap memainkan peran sentral untuk memutuskan sesat-tidaknya suatu ajaran atau keyakinan, melainkan sekaligus menjadi instrumen untuk menggerus kelompok agama atau kepercayaan minoritas di luar enam agama mayoritas yang diakui pemerintah-hal yang bertentangan dengan konstitusi.

Undang-undang itu juga mengandung sebuah pasal yang multitafsir. Ada subyektivitas yang tak terelakkan ketika kita menyatakan sesuatu atau melakukan kegiatan, sebagaimana tercantum dalam pasal 1, yang bisa dinilai "menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama". Pasal ini, dalam bahasa hukum dikenal dengan "pasal karet", bisa berubah menjadi represif apabila dikenakan kepada umat di luar enam agama mayoritas tadi dan terhadap siapa saja yang memiliki tafsir di luar mainstream.

Dalam ruang pribadi atau forum internum, memang tidak ada larangan untuk mempraktekkan ajaran agama Yahudi, Taoisme, Zoroastrianisme, Shinto, ataupun aliran kepercayaan. Namun kebebasan ini akan segera berakhir manakala mereka mulai membicarakan keyakinan mereka di ruang publik. Ada yang terasa seperti retorika masa lalu tatkala Mahkamah mengutarakan bahwa undang-undang itu tetap "diperlukan sebagai pengendali ketertiban umum dalam rangka kerukunan umat beragama".

Kebebasan beragama di negeri ini bukan berarti telah berakhir sampai di sini. Pendidikan yang mumpuni serta peningkatan kesadaran akan keanekaragaman aspirasi tentunya akan perlahan membuat kita menjadi masyarakat yang religius sekaligus toleran terhadap perbedaan. Namun, di ranah politik, sampai kapan pun rasanya tetap diperlukan revisi terhadap undang-undang yang dikeluarkan empat puluh lima tahun silam itu. Hanya dengan cara inilah kita tegas menyatakan bahwa paternalisme oleh negara merupakan sesuatu yang kedaluwarsa sehingga harus dibuang jauh-jauh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus