Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font face=arial size=1 color=brown><B>Istri Bupati </B></font><BR />Berebut Kursi Bekas Suami

Para istri kepala daerah itu kini berjuang merebut kursi peninggalan suami. Membahas politik dari meja makan ke tempat tidur.

26 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JERUJI penjara tak menghalangi Widya Kandi Susanti berkonsultasi politik dengan suaminya, Hendy Boedoro. Pencalonan Widya menjadi Bupati Kendal dalam pemilihan kepala daerah, Juni mendatang, dan strategi jitu untuk memenangi hati rakyat kerap menjadi topik utama. ”Suamiku adalah guru politikku,” kata Widya kepada Tempo pekan lalu.

Suami Widya adalah Bupati Kendal, Jawa Tengah, yang dipaksa lengser di tengah masa jabatannya yang kedua, sekitar tiga tahun silam. Ia dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dan harus meringkuk di Lembaga Pemasyarakatan Kedungpane, Semarang, selama lima tahun. Ia juga diwajibkan membayar denda Rp 3,4 miliar.

Keluarga Widya-Hendy juga tak terhalang meneruskan kehidupan politik yang sudah mereka geluti. ”Buktinya, pada pemilu legislatif lalu masyarakat kembali memilih saya,” kata Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kendal itu. Bahkan, ketika dilakukan penjaringan calon kepala daerah, 20 pengurus anak cabang dan 285 pengurus ranting Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan secara aklamasi mencalonkan Widya.

Kini, ia pun cuti dari jabatan Wakil Ketua Dewan, dan berusaha meraih kursi yang dulu diduduki suaminya. Pekan lalu, perempuan 46 tahun itu mendeklarasikan pencalonannya. Ia akan menghadapi empat calon lain, termasuk penjabat bupati yang menggantikan suaminya, Siti Nurmarkesi.

Tak hanya Widya yang berjuang merebut kursi yang pernah atau sedang diduduki sang suami. Di Bantul, Yogyakarta, Sri Surya Widati, yang biasa disapa Ida, akan ikut berebut kursi bupati yang segera ditinggalkan suaminya, Idham Samawi. Ia diusung oleh Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Karya Peduli Bangsa.

Di Kediri, Jawa Timur, ada Haryanti, yang berusaha merebut posisi bupati yang sekarang masih dijabat suaminya, Sutrisno. Ia diusung PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Kebangkitan Nasional Ulama.

Beribu alasan mereka maju. Widya menyatakan ada panggilan untuk memperbaiki Kendal, yang dia anggap stagnan setelah tiga tahun ditinggalkan suaminya.

Ida, 59 tahun, lain lagi. Ia mengaku awalnya tak membayangkan maju dalam pemilihan kepala daerah Bantul, Juni mendatang. Tapi, dalam banyak pertemuan dengan masyarakat, ia kerap ditanya apakah bersedia menjadi bupati.

Sebagai istri bupati, Ida menyandang banyak jabatan di berbagai organisasi, seperti Ketua Tim Penggerak PKK, Ketua Kelompok Kerja Pos Pemberdayaan Keluarga, Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia Bantul, dan Ketua Palang Merah Indonesia. Akhirnya, dengan persetujuan suami, ia memutuskan maju. Menurut perempuan yang pernah duduk di Dewan Komisaris Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, ini, bagi dia dan suaminya, nomor satu adalah rakyat, nomor dua juga rakyat, dan nomor tiga tetap rakyat.

Haryanti tentu juga punya alasan. ”Pembangunan tidak boleh berhenti di tengah jalan,” kata suaminya, Sutrisno. ”Harus ada orang yang bisa menerjemahkan pikiran saya, dan nyambung.” Dia khawatir laju pembangunan di Kabupaten Kediri mandek kalau tampuk pemerintahan dipegang orang lain.

Pencalonan para istri ini tak urung memancing pro-kontra. Mugari, nelayan di pantai Samasa, Srigading, Sanden, Bantul, menyatakan pencalonan Ida merupakan langkah bagus. Sebab, pengalaman mendampingi suaminya sebagai bupati dua periode menjadi modal baginya. ”Selain itu, belum pernah perempuan memimpin Bantul,” katanya.

Demikian pula pembela Widya. Ellen Kurnialis, mantan aktivis mahasiswa 1998 yang kini aktif melakukan pengorganisasian dan pemberdayaan masyarakat di Kendal, menyatakan Widya calon Bupati Kendal terbaik. ”Dari sisi pengalaman, dukungan politik, serta kapasitas intelektual, modal Widya sangat bagus,” katanya.

Tapi, yang menuding miring juga banyak. ”Mereka seperti ingin melanggengkan kekuasaan keluarga,” kata Siswodiharjo, pedagang di Pasar Niten, Bantul. Demikian pula warga Kediri. ”Kayak tidak ada orang lain saja,” kata Indah Magdalena, warga Desa Bendo, Kecamatan Pare. Bahkan tokoh masyarakat Kediri, Munasir Huda, menuding Haryanti hanya representasi suaminya, Sutrisno. ”Masak bupati akan didikte suaminya?”

Peran para suami memang menentukan. Selain bupati, mereka tokoh partai politik. Sutrisno adalah Ketua PDI Perjuangan Kabupaten Kediri. Idham Samawi Ketua PDI Perjuangan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang kini juga masuk di pengurus pusat. Bahkan PDIP Bantul tidak mendaftarkan Ida ke Komisi Pemilihan setempat, tapi pasangan lain, Kardono-Ibnu Kadarmanto, agar Ida melenggang ke kursi bupati tanpa halangan serius.

PDI Perjuangan khawatir Ida-Sumarno (Wakil Bupati Bantul) menjadi satu-satunya pasangan calon yang mendaftar ke Komisi setempat, sehingga pemilihan harus ditunda. ”Penunjukan disepakati oleh semua pengurus, dengan syarat pengurus dan warga PDI Perjuangan tetap harus memenangkan Ida-Sumarno,” kata Ketua PDI Perjuangan Bantul Aryunadi.

Adapun pilihan ke Haryanti, menurut Sutrisno, merupakan keputusan pengurus PDI Perjuangan Kabupaten Kediri. Sayang, beberapa pengurus bungkam. Sekretaris PDI Perjuangan Kediri Miskan Soemarta dan Ketua Divisi Komunikasi Sulkani malah saling lempar ketika ditanya alasan mengusung Haryanti. Mereka menyatakan tidak memiliki wewenang menjelaskan.

Yang pasti, para istri itu mengakui peran ampuh suami. Widya, dokter lulusan Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, setiap membesuk suaminya tak lupa mendiskusikan pencalonannya. Tentu sambil menjinjing makanan kesukaan Hendy, soto dan lumpia Semarang, juga bacaan politik dan spionase. Kasus yang menimpa suaminya, menurut dia, bahkan merupakan nilai lebih pembelajaran politik. ”Tak mungkin saya mengulangi pengalaman suami.”

Demikian pula Ida. Di rumahnya, pembicaraan politik menguasai setiap ruangan, dari meja makan hingga ke ranjang. Setiap menjelang tidur, Ida dan Idham membahas kondisi politik dan beragam kebijakan yang bisa merebut hati rakyat. Kalau terpilih, ia berjanji akan mengevaluasi kinerja pemerintahan suaminya, untuk mengambil langkah-langkah kebijaksanaan.

Haryanti malah seolah menunjuk suaminya sebagai juru bicara. Kalau ditanya wartawan, ”Silakan lewat Bapak saja kalau mau wawancara,” katanya.

Purwani Diyah Prabandari, Sohirin (Kendal), Muh. Syaifullah (Bantul), Hari Tri Wasono (Kediri)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus