Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GAMAWAN Fauzi lincah nian mencuri perhatian. Di tengah sebak berita heboh, dari kontroversi makam Mbah Priok sampai penyakit lupa yang mendadak menjangkiti sosialita tertentu, Menteri Dalam Negeri nan rancak itu melontarkan ”gagasan cemerlang”. Dia menambahkan dua kualifikasi yang disyaratkan untuk pencalonan kepala daerah dalam revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Kualifikasi pertama adalah berpengalaman dalam pemerintahan. Pengalaman ini, menurut Gamawan, tak sebatas di tataran suprastruktur politik, seperti lembaga eksekutif dan legislatif, tapi juga pengalaman di tataran infrastruktur, misalnya di partai politik dan organisasi massa. Mengenai butir pertama ini, orang tak banyak komentar. Bahkan terasa juga mustahaknya mengingat betapa ramai bakal calon kepala daerah ”tembak langsung”, yang tanpa pengalaman politik apa pun berani bertarung di palagan pemilihan.
Butir kedua, orang yang dicalonkan hendaklah tidak cacat moral. Untuk memperjelas maksudnya, mantan Gubernur Sumatera Barat itu merasa tak perlu menggunakan pepatah-petitih atawa amsal ibarat, tapi langsung to the point: orang yang pernah ketahuan berzina tak boleh ikut pemilihan kepala daerah. Misalnya, kata Gamawan, ada video yang menggambarkan sang calon berbuat zina. Mengapa mesti video, bukan karena pernah tertangkap basah atau menurut keputusan pengadilan agama, misalnya, tak sampai dijelaskan lebih rinci.
Di luar keberatan seorang biduan dangdut yang ingin maju dalam pemilihan kepala daerah di Sidoarjo, Jawa Timur, dan kebetulan pernah beredar video tak senonohnya, usulan ini tetaplah terkesan mengada-ada. Jika kedua usulan itu diterima dalam revisi Undang-Undang Nomor 32/2004, persyaratan calon kepala daerah yang tadinya meliputi 16 perkara akan menjadi 18 perkara. Tapi bukan soal jumlah itu yang jadi pertimbangan.
Semangat usulan ini untuk kesekian kalinya menempatkan negara sebagai penguasa tunggal pengawal moral masyarakat. Dalam semangat ini, semua ukuran dan standar yang telah dipahami dan ditakzimi para pemeluk agama dan keyakinan menjadi mansukh, diambil alih oleh negara. Tapi, sebaliknya, usulan ini juga menisbahkan keputusan dan kebijakan yang sebelumnya sudah dikukuhkan di dalam undang-undang yang hendak direvisi itu.
Andai usulan ini diterima, tentulah pasal antizina dicantumkan di bawah pasal yang jauh lebih ”asasi”, misalnya pasal ”bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”. Mengikuti logika berpikir paling sederhana, negara jadinya menganut keyakinan bahwa orang yang ”bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa” belum tentu kalis dari potensi berbuat zina. Dari kontroversi ini saja hampir bisa dipastikan bakal lahir berbagai diskusi, simposium, atawa seminar.
Dari perspektif aplikasi, urusan zina juga bukan perkara simpel. Pertanyaan pertama adalah apakah rekaman video dapat digunakan sebagai bukti sahih di depan hukum. Dengan teknologi digital mutakhir, hampir tak ada lagi yang mustahil dalam fantasi rekayasa. Masalah berikutnya adalah penyelenggaraan ”pengadilan” zina itu sendiri. Misalnya, diperlukan lebih dari seorang saksi yang melihat perbuatan itu dalam bentuk ”tayangan langsung”—bukan sekadar rekaman video. Terakhir, usulan antizina ini juga melecehkan kecerdasan publik, yang seolah-olah tidak mampu mempertimbangkan calon yang akan dipilihnya. Jadi, janganlah mengada-ada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo