Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Jalan Mulus Menteri ke Ajang Pemilu

Apa dampak putusan Mahkamah Konstitusi yang memuluskan jalan menteri sebagai calon presiden 2024?

15 November 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Jalan Mulus Menteri ke Ajang Pemilu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adam Setiawan
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiruk pikuk dunia politik, khususnya mengenai calon presiden 2024, selalu menjadi konsumsi menarik untuk disimak. Peta politik makin menghangat tatkala telah ada kandidat calon presiden dideklarasikan partai politik. Anies Baswedan sudah dipastikan didukung menjadi calon presiden oleh Partai Nasional Demokrat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun peta politik sangatlah dinamis, bisa berubah 180 derajat seketika, mengingat jadwal penetapan calon presiden baru dimulai pada Oktober tahun depan. Artinya, probabilitas perubahan peta politik di injury time dapat terjadi. Bahkan Anies Baswedan bisa saja tidak memperoleh tiket apabila yang mengusungnya hanya Partai Nasional Demokrat karena terbendung presidential threshold 25 persen. Peta politik makin sukar untuk ditebak karena figur-figur di kabinet, yang mempunyai potensi untuk menjadi calon presiden atau calon wakil presiden, bahkan mendapat karpet merah untuk maju.

Di balik hiruk pikuk itu, terselip masalah hukum. Mahkamah Konstitusi (MK) membuat putusan yang menyatakan bahwa menteri tidak perlu mengundurkan diri ketika ingin mencalonkan diri menjadi presiden atau wakil presiden. Jika dibaca secara parsial, tentu putusan Mahkamah ini memberikan jaminan hak yang sama kepada setiap orang untuk dapat maju sebagai calon presiden, termasuk menteri. Tapi hal ini akan menimbulkan masalah baru.

Pasal 170 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyatakan bahwa pejabat negara yang dicalonkan oleh partai politik peserta pemilihan umum atau gabungan partai politik sebagai calon presiden dan calon wakil presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya. Pengecualian diberikan kepada presiden, wakil presiden, pimpinan dan anggota MPR, pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, gubernur dan wakilnya, bupati dan wakilnya, serta wali kota dan wakilnya.

Mahkamah menyatakan bahwa pasal tersebut inkonstitusional bersyarat sepanjang rumusan pasal itu tidak dimaknai vide, ditambah frasa "termasuk menteri dan pejabat setingkat menteri mendapatkan persetujuan dan izin cuti dari presiden". Mahkamah tampaknya tidak mempertimbangkan dan mengantisipasi persoalan baru yang akan muncul akibat putusan itu.

Dengan menyebutkan menteri atau pejabat setingkat menteri tidak harus mengundurkan diri, hal itu berpotensi mengganggu stabilitas pemerintahan. Bisa saja menteri yang dicalonkan itu akan berhadap-hadapan dengan presiden inkumben, sehingga akan memicu terjadinya perpecahan dalam pemerintahan. Hal demikian bias dari bingkai sistem presidensial, ketika menteri diangkat oleh presiden untuk membantu tugas-tugas presiden dalam memuluskan program-program pemerintahan, sehingga menteri dituntut untuk bertanggung jawab secara langsung kepada presiden.

Syukur jika menteri yang menjadi bakal calon presiden mengundurkan diri. Ini terjadi pada 2004 ketika tiga menteri di Kabinet Gotong Royong, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla, dan Agum Gumelar, mengundurkan diri. Tapi rasanya, dengan dasar putusan Mahkamah itu, mustahil para menteri meninggalkan posisi strategisnya.

Kendati banyak yang mengatakan bahwa hal ini hanyalah persoalan etika dan kepantasan sehingga dibiarkan saja menjadi fatsun politik, dikhawatirkan ke depannya akan mengganggu stabilitas jalannya pemerintahan dan pemilihan umum akan ternoda oleh persaingan yang tidak sehat. Hal demikian makin runyam ketika ada beberapa menteri yang berpotensi menjadi calon presiden atau calon wakil presiden, mengingat beberapa menteri Kabinet Indonesia Bersatu merupakan petinggi partai, yang kemungkinan akan mencuri start untuk melakukan konsolidasi politik sehingga melupakan tugas utamanya sebagai menteri.

Hakim konstitusi Saldi Isra mempunyai alasan berbeda (concurring opinion) dalam putusan Mahkamah itu. Ia berpendapat, berkenaan dengan persetujuan presiden atas permohonan cuti dari menteri, presiden dapat menjawab dengan mengganti menteri tersebut karena sejauh ini menteri yang mengajukan diri atau dicalonkan itu berasal dari partai politik yang berbeda dari partai politik presiden inkumben. Karena pemerintahan sekarang dibentuk dengan pola koalisi, pengganti menteri dapat berasal dari partai politik sama yang tergabung dalam koalisi. Upaya memberhentikan itu tidak terlepas dari hak prerogatif presiden untuk mengangkat dan memberhentikan menteri.

Namun cara demikian tidaklah segampang yang dibayangkan. Hak prerogatif presiden tidaklah menjadi kewenangan mutlak presiden. Dalam kenyataannya, hak presiden itu akan terpasung oleh negosiasi politik. Apalagi jika presiden berasal dari partai minoritas, sehingga rasanya sukar baginya untuk meminimalkan terjadinya perpecahan.

Paling tidak ada dua persoalan serius yang mungkin muncul akibat menteri yang tidak perlu mengundurkan diri jika ingin menjadi calon presiden. Pertama, idealnya menteri-menteri yang diangkat menjadi presiden adalah “kabinet zaken”, yang harus terbebas dari anasir kepentingan partai politik dengan tujuan mencegah konflik kepentingan di kemudian hari. Namun presiden tidak dapat berbicara banyak dengan hak prerogatifnya karena ia harus mempertimbangkan kepentingan politik yang berada di parlemen agar memuluskan program yang dia usung.

Pada awalnya, saya mempunyai hipotesis bahwa Joko Widodo pada periode kedua kepresidenannya bisa mengisi kabinetnya dengan menteri-menteri yang lebih banyak dari kalangan non-partai politik. Tapi, kenyataannya, mayoritas anggota kabinetnya diisi orang-orang dari kalangan partai.

Masalah akan muncul jika presiden memberikan persetujuan menteri untuk cuti karena sang menteri menjadi calon presiden, sedangkan presiden inkumben juga menjadi lawannya. Dalam hal ini, presiden harus memutar otak agar terbebas dari konflik kepentingan dan tetap mendapat dukungan partai politik hingga akhir masa jabatannya.

Kedua, figur-figur yang berpotensi menjadi calon presiden sangat diuntungkan dengan jabatannya sebagai menteri karena sejak awal tahapan pemilihan umum bisa menggunakan otoritas dan pengaruhnya untuk menarik simpati rakyat serta menggunakan fasilitas negara untuk memenangi hati rakyat. Hal ini sukar dihindari sehingga sudah seharusnya putusan Mahkamah Konstitusi tidak dilaksanakan karena hanya akan merusak tatanan yang sudah ajek. Menteri hendaknya berfokus dalam mengerjakan tugas dan program yang dicanangkan pemerintah hingga habis masa jabatan presiden. Andai kata putusan Mahkamah tetap dilaksanakan, sudah seyogianya dilakukan revisi terhadap Pasal 24 Undang-Undang Kementerian Negara mengenai tata cara pengajuan cuti menteri dan dalam hal apa saja cuti boleh dilakukan menteri. Hal ini penting untuk memberikan jaminan kepastian hukum dalam hidup bernegara.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Adam Setiawan

Adam Setiawan

Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus